Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pengertian, Alasan dan Proses Perceraian

Perceraian
Ilustrasi Perceraian
Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun  lagi sebagai suami isteri (Soemiyati, 1982:12).

Pada prinsipnya Undang-Undang Perkawinan adalah mempersulit adanya perceraian tetapi tidak berarti Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sama sekali tentang tata cara perceraian bagi para suami isteri yang akan mengakhiri ikatan perkawinannya dengan jalan perceraian.

Pemeriksaan perkara perkawinan khususnya perkara perceraian, berlaku hukum acara khusus, yaitu yang diatur dalam (Arto, 2000:205-206):
  1. Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Pasal 54-91);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor  9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanann Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
  4. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tentang Wali Hakim;
  5. Peraturan-pearaturan yang lain yang berkenaan dengan sengketa perkawinan;
  6. Kitab-kitab fiqh Islam sebagai sumber penemuan hukum;
  7. Yurisprudensi sebagai sumber hukum.
Perceraian yang terjadi karena keputusan Pengadilan Agama dapat  terjadi karena talak atau gugatan perceraian serta telah cukup adanya alasan yang ditentukan oleh undang-undang setelah tidak berhasil didamaikan antara suami-isteri tersebut (Pasal 114, Pasal 115 dan Pasal 116 KHI).

Pasal 114 KHI menjelaskan bahwa perceraian bagi umat Islam dapat terjadi karena adanya permohonan talak dari  pihak suami atau yang biasa disebut dengan cerai talak ataupun  berdasarkan gugatan dari pihak istri atau yang biasa disebut dengan cerai gugat.

Alasan-Alasan Perceraian

Alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang dan menjadi landasan terjadinya perceraian baik melalui cerai talak maupun cerai gugat tertuang dalam Pasal 39 (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 116 KHI.

Pasal 39 (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

Lebih lanjut mengenai alasan-alasan perceraian ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  7. Suami melanggar taklik talak;
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Proses pemeriksaan perkara perceraian

Proses pemeriksaan perkara perdata termasuk perkara perceraian setidak-tidaknya terdiri dari delapan kali sidang  yang meliputi:

1. Sidang 1 Perceraian

Sidang 1 yaitu pemeriksaan identitas para pihak, pembacaan surat gugatan dan anjuran perdamaian, artinya sebelum pembacaan surat gugatan, hakim wajib berusaha secara aktif dan bersungguh-sungguh untuk mendamaikan kedua pihak.
    
Selama perkara tersebut belum diputuskan, usaha untuk mendamaikan tersebut dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan dalam sidang perdamaian. Apabila ternyata upaya damai tidak berhasil maka sidang dapat dilanjutkan ke tahap pembacaan gugatan.

Pada tahap pembacaan gugatan maka pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi yang tercantum dalam dalil gugat dan petitum sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugat itulah yang menjadi acuan atau objek pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari lingkup yang termuat dalam surat gugatan.

2. Sidang 2 Perceraian

Sidang 2 yaitu jawaban tergugat, hal ini terjadi apabila tidak tercapai perdamaian pada tahapan sidang pertama.

Dalam jawaban tergugat, penyampaiannya dapat berupa pengakuan yang membenarkan isi dari gugatan penggugat baik secara keseluruhan maupun sebagian dan dapat pula berupa bantahan atas isi gugatan disertai alasan-alasannya atau bahkan mengajukan gugatan rekonvensi atau gugat balik.

3. Sidang 3 Perceraian

Sidang 3 yaitu Replik, artinya bahwa penggugat dapat menegaskan kembali gugatannya yang disangkal oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas serangan-serangan oleh tergugat.

Dalam tahap ini mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dali-dalilnya atau mungkin juga penggugat merubah sikap dengan memebenarkan jawaban atau bantahan tergugat.

4. Sidang 4 Perceraian

Sidang 4 yaitu Duplik, artinya merupakan tahap bagi tergugat untuk menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat.

Replik dan duplik (jawab-jinawab) dapat dilakukan berulang-ulang sampai ada titik temu antara penggugat dan tergugat dan apabila hakim telah memandang cukup  tetapi masih ada hal-hal yang tidak disepakati oleh pengugat dan tergugat sehingga pelu dibuktikan kebenarannya maka agenda dilanjutkan dengan tahap pembuktian.

5. Sidang 5 Perceraian

Sidang 5 yaitu tahap pembuktian yaitu tahap bagi penggugat untuk mengajukan semua alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugatannya. Demikian juga terhadap tergugat, yang diberi kesempatan untuk mengajukan alat-alat bukti untuk mendukung jawabannya atau sanggahannya.

6. Sidang 6 perceraian

Sidang 6 yaitu kesimpulan akhir dari para pihak. Pada tahap ini baik penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, menurut pendapat masing-masing.                        

7. Sidang 7 Perceraian

Sidang 7 yaitu tahap putusan. Dalam tahap ini hakim merumuskan duduk perkara dan pertimbangan hukum (pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasan dan dasar hukumnya, yang diakhiri dengan putusan hakim mengenai perkara yang diperiksanya. Putusan hakim ini adalah untuk mengakhiri sengketa para pihak.

Daftar Pustaka

  • Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Cetakan ke tiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000.
  • Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan UUP (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Yogyakarta:Liberty. 1982.
  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
  • Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Pengertian, Alasan dan Proses Perceraian. Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2013/03/teori-perceraian.html