Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Klasifikasi, Biomorfologi dan Ekologi Lutung

Lutung Jawa
Lutung Jawa
Lutung (Trachypithecus auratus) adalah primata  yang memiliki banyak sekali nama atau sebutan yang berbeda di daerah maupun  di tingkat internasional. Nama daerah dari lutung yang banyak dikenal adalah Lutung Jawa (sunda), Lutung Budeng (jawa), petu, hirengan (bali). Seringkali disebut lutung jawa, dan dalam bahasa Inggris seringkali disebut Javan Langur atau Ebony Leaf Monkey.

Menurut Mace dan Balmford dalam the IUCN Red List of Threatened Species tahun 2000 serta Supriatna dan Wahyono (2000), klasifikasi dari Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) adalah :

Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Family : Cercopithecidae
Genus : Trachypithecus
Spesies : Trachypithecus auratus

Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), keluarga besar lutung pada awalnya dimasukan kedalam genus Presbytis, namun sekarang beberapa jenis dimasukn kedalam genus Trachypithecus. Indonesia memiliki keluarga lutung (family Cercopithecidae) yang terdiri dari sepuluh jenis Presbytis dan dua jenis Trachypithecus.

Biomorfologi Lutung

Lutung Jawa mempunyai panjang tubuh dari ujung kepala hingga tungging rata-rata 597 mm baik jantan maupun betina dewasa. Panjang rata-rata ekornya 742 mm, sedangkan berat tubuhnya rata-rata 6,3 kg. Warna rambut hitam diselingi dengan warna keperak-perakan. Bagian ventral berwarna kelabu pucat dan kepala mempunyai jambul. Menurut Napier (1967), muka keluarga besar lutung pada umumnya berwarna hitam, begitu juga dengan telapak tangan dan kaki.

Menurut Brandon-Jones dalam Susetyo (2004), lutung betina dewasa memiliki sedikit perbedaan dengan lutung jantan dewasa pada daerah bagian pinggang atau pada bagian dalam paha atas yang berwarna agak pucat atau putih kekuning-kuningan tidak beraturan, seta memiliki bulu yang berwarna pucat pada bagian pantat dan punggung yang lebih hitam dari punggung lutung jantan.

Anak lutung yang baru lahir berwarna kuning jingga dan tidak berambut. Setelah meningkat dewasa warnanya akan berubah menjadi hitam kelabu. Warna lutung terang atau oranye hanya muncul pada anakan yang masih bayi atau baru saja lahir, pada umur enam bulan berubah jadi hitam, coklat atau abu-abu.

Susunan gigi dari lutung adalah 2 : 1 : 2 : 3 pada kedua bagian rahang atas dan bawah. Jenis makanan lutung terdiri lebih dari 66 jenis tumbuhan yang berbeda. Komposisi makanannya 50% berupa daun, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian dari tumbuhan atau serangga. Daun muda dari Tectona grandis merupakan sumber pakan yang penting jika jenis-jenis makanan yang disukainya sangat sulit untuk dijumpai Kool dalam Susetyo (2004) menemukan bahwa jenis Ficus sinuata, Ficus sumatrana dan Vitex pinnata merupakan jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan penting di beberapa daerah seperti di Pangandaran.

Habitat dan Persebaran Lutung

Keluarga besar lutung hidup tersebar hampir di seluruh kawasan Asia, mulai dari India, Pakistan, Neval hingga Kepulauan Ceylon. Sebaran geografis di Asia Tenggara meliputi Thailand, Malaysia, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan kepulauan lainnya. Genus ini sebarannya tidak melewati garis Wallacea kecuali di Lombok yang merupakan satwa introduksi oleh penduduk setempat (Napier dan Napier, 1967).

Lutung Jawa ditemukan di pulau Jawa, Bali, Kalimantan, Sumatera dan Lombok. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) penyebaran jenis ini dapat dikelompokan dengan pembagian tiga sub spesies dari lutung. Persebarannya terbatas pada Jawa Barat bagian barat, Jawa Barat bagian tenggara dan tersebar di Bangka, Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera bagian selatan dan termasuk juga Jawa Timur, Bali dan Lombok.

Genus ini memiliki habitat yang luas, seringkali ditemukan pada ketinggian 3600 m di Pegunungan Himalaya. Di India dan Ceylon ditemukan di daerah kering dan di Assam serta Indochina ditemukan ditemukan di hutan hujan. Di Pilau Kalimantan dan Malaysia ditemukan di daerah hutan mangrove (Napier dan Napier, 1967).

Lutung Jawa ditemukan di hutan dataran rendah campuran pada pertumbuhan sekunder dengan tanaman jati, mahoni, dan akasia, sedangkan menurut Nijman dan Van Balen serta Gurmaya et al dalam Susetyo (2004) spesies ini dapat hidup di hutan primer dan sekunder baik di tengah maupun di tepi kawasan.

Supriatna dan Wahyono (2000) mengungkapkan bahwa Lutung Jawa hidup di berbagai tipe ekosistem. Hutan bakau, hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi, baik di hutan primer maupun hutan sekunder. Seringkali spesies ini juga ditemukan di daerah-daerah perkebunan dan hutan tanaman.

Komposisi Kelompok Lutung

Dalam hidupnya Lutung Jawa membentuk kelompok dengan beberapa individu mulai dari 6 hingga 23 ekor. Dalam setiap kelompok teredapat jantan sebagai pemimpin kelompok, dan beberapa betina serta anak-anak yang masih dalam asuhan induknya (Supriatna dan Wahyono, 2000). Menurut Napier dan Napier (1967), jenis primata ini memiliki kecenderungan lebih besar jika habitatnya terbuka dan di daerah kering.

Lutung jantan mendominasi anggota kelompok dalam hal perlindungan, pengamatan dan pergerakan harian. Jantan selalu menjaga anggota kelompok dari berbagai gangguan yang berasal dari luar atau dari kelompok lainnya. Jantan dominan berperan dalam menggerakan atau mengarahkan pergerakan kelompoknya, baik dalam mencari makan, tempat tidur atau tempat beristirahat (Napier dan Napier, 1967).

Perilaku Harian Lutung

Lutung merupakan satwa diurnal dan arboreal, yaitu satwa yang aktif disiang hari sejak matahari terbit hingga matahari terbenam, dan menghabiskan lebih banyak waktunya di atas pohon, dan kadang berjalan di atas cabang pohon (Supriatna dan Wahyono, 2000).

Menurut  Napier dan Napier (1967), keluarga besar lutung melakukan pergerakan harian seperti berjalan dan berlari menggunakan keempat tungkainya secara bersamaan atau quadrupedal untuk mencapai pohon yang satu dengan yang lainnya, dilakukan dengan meloncat di antara percabangan pohon. Sebagaimana jenis lutung lainnya, Lutung Jawa juga makan dan beristirahat dengan posisi duduk di cabang, dengan ekor menggantung atau berfungsi sebagai penyeimbang badan di atas pohon.

Lutung Jawa dalam melakukan pergerakan harian mampu mencapai radius 500 hingga 1500 meter. Daerah jelajah mereka mencapai 5 – 23 Ha (Supriatna dan Wahyono, 2000). Luas daerah jelajah mereka sangat tergantung dari kondisi habitat, begitu pula dengan teritorinya (Napier dan Napier, 1967).

Luasnya daerah jelajah seringkali mengakibatkan daerah jelajah Lutung tumpang tindih atau overlapping. Lutung soliter yang masuk ke dalam daerah jelajah atau daerah kekuasaan suatu kelompok terkadang diserang oleh jantan dominan. Meskipun demikian, seringkali dua kelompok Lutung dapat hidup berdampingan tanpa timbulnya perkelahian atar kelompok.

Daftar Pustaka

  • Napier JR, Napier PH. 1967. A Hand Book of Living Primates. The MIT Pr
  • Supriatna J dan EH Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
  • Susetyo Budi. 2004. Penaksiran Populasi Lutung Budeng (Trachypithecus auratus) di Resort Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Klasifikasi, Biomorfologi dan Ekologi Lutung. Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2012/12/klasifikasi-biomorfologi-dan-ekologi.html