Menurut Ryff (1989) psychological well-being adalah suatu kondisi seseorang yang bukan hanya bebas dari tekanan atau masalah-masalah mental saja, tetapi lebih dari itu yaitu kondisi seseorang yang mempunyai kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu (self-acceptance), pengembangan atau pertumbuhan diri (personal growth), keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan (purpose in life), memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others), kapasitas untuk mengatur kehidupannya dan lingkungannya secara efektif (environmental mastery), dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy).
|
Ilustasi Kondisi Menyenangkan |
Konsep Ryff tentang psychological well-being merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi (individuation), konsep Allport tentang kematangan, konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepuasan hidup, serta kriteria positif individu yang bermental sehat yang dikemukakan Johada (dalam Ryff, 1989).
Dimensi Psychological Well-being
Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis meliputi dimensi sebagai berikut:
1. Penerimaan diri (Self-acceptance)
Aspek ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental dan juga merupakan karakteristik utama dari individu yang mencapai aktualisasi diri yang berfungsi secara optimal dan dewasa. Aspek ini juga menekankan penerimaan diri seseorang terhadap masa lalu. Sehingga Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik akan dapat memiliki sifat positif terhadap diri sendiri dan menerima berbagai aspek diri termasuk sifat baik dan buruk.
2. Hubungan positif dengan orang lain (Positive relations with others)
Hubungan positif dengan orang lain diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai dilihat juga sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental. Individu yang mempunyai tingkatan yang baik pada dimensi hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman, serta memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia.
3. Otonomi(Autonomy)
Individu yang sudah mencapai aktualisasi diri dideskripsikan sebagai orangyang menampilkan sikap otonomi (autonomy). Individu yang berfungsi secara lengkap ini juga dideskripsikan memiliki internal locus of control dalam mengevaluasi dirinya, maksudnya individu tersebut tidak meminta persetujuan dari orang lain namun mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar-standar pribadinya. Individu yang memiliki tingkat otonomi yang baik maka individu tersebut akan mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berfikir dan berperilaku dengan cara tertentu, mampu mengatur perilaku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi.
4. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Merupakan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan suatu lingkungan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya, dapat didefinisikan sebagai salah satu karakteristik kesehatan mental. Penguasaan lingkungan yang baik dapat dilihat dari sejauh mana individu dapat mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang ada di lingkungan. Individu juga mampu mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental.
5. Tujuan Hidup (Purpose of Life)
Menekankan pentingnya keyakinan yang memberikan satu perasaan dan pemahaman yang jelas tentang tujuan dan arti kehidupan. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik akan memiliki target dan cita-cita dalam hidupnya serta merasa bahwa kehidupan di saat ini dan masa lalu adalah bermakna, individu tersebut juga memegang teguh pada suatu kepercayaan tertentuyang dapat membuat hidupnya lebih berarti.
6. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Individu dalam berfungsi secara optimal secara psikologis harus berkembang, mengembangkan potensi-potensinya, untuk tumbuh dan maju. Pemanfaatkan secara optimal seluruh bakat dan kapasitas yang dimiliki oleh individu merupakan hal yang penting dalam psychological well-being. Individu yang terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru berarti individu tersebut akan terus berkembang bukan hanya mencari suatu titik yang diam di mana semua masalah terselesaikan. Individu yang mempunyai pertumbuhan diri yang baik (individu memiliki pertumbuhan diri yang baik dan memiliki perasaan yang terus berkembang) akan memiliki perasaan yang terus berkembang, melihat diri sendiri sebagi sesuatu yang terus berkembang, menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan perilakunya dalam waktu ke waktu.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Psychological Well-Being
Faktor-faktor yang memegaruhi psychological well-being dari beberapa kepustakaan:
a. Makna Hidup
Menurut Ryff (1989), pemberian arti terhadap pengalaman hidup member kontribusi yang sangat besar terhadap tercapainya psychological well-being. Salah satu pengalaman hidup yang dapat memberikan kontribusi tersebut adalah pengalaman memaafkan orang lain dalam kehidupan sosialnya, dimana terdapat pemulihan hubungan interpersonal.
b. Faktor Demografis
Faktor demografis mencakup beberapa area seperti usia, jenis kelamin, budaya dan status ekonomi. Ryff (1989) menyatakan bahwa faktor-faktor demografis seperti perbedaan usia, jenis kelamin dan budaya memiliki kontribusi yang bervariasi terhadap psychological well-being.
c. Kesehatan Fisik
Grossi dkk (2012) menyatakan bahwa kesehatan fisik turut berpengaruh pada psychological well-being. Kesehatan fisik memainkan peranan penting dalam mendeterminasi distress maupun psychological well-being. Di samping itu, dinyatakan bahwa psychological well-being memiliki koneksi dengan ketiadaan penyakit.
d. Pendidikan
Tingkat pendidikan turut memengaruhi psychological well-being. Ketika individu menempuh pendidikan pada level atau tingkatan yang lebih tinggi, individu mempunyai informasi yang lebih baik. Kemudian individu akan memiliki kesadaran yang lebih baik dalam membuat suatu pilihan. Hal ini berdampak pada determinasi diri dan perilaku memelihara kesehatan. Sehingga berdampak pada munculnya psychological well-being (Grossi dkk, 2012)
e. Agama dan Spiritualitas
Ivtzan, Chan, Gardner, dan Prashar (2013) menyatakan bahwa agama dan spiritualitas memiliki pengaruh pada psychological well-being. Terdapat hubungan positif yang kuat diantaranya karena psychological well-being dapat tercipta ketika ada pengembangan spiritualitas (Hafeez dan Rafique, 2013).
f. Kepribadian
Ciri-ciri kepribadian menggambarkan kecenderungan individu pada sebuah pola perilaku dan pemikiran yang stabil, bukan berdasarkan baik atau buruknya (Schmutte dan Ryff dalam Salami, 2011). Penelitian yang dilakukan Salami (2011) menunjukkan bahwa faktor kepribadian memiliki hubungan yang signifikan dengan psychological well-being.