Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pengertian, Jenis dan Pencegahan Fraud

Fraud atau kecurangan adalah suatu tindakan yang disengaja oleh satu individu atau lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggungjawab atas tata kelola, karyawan, dan pihak ketiga yang melibatkan penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh satu keuntungan secara tidak adil atau melanggar hukum (IAPI, 2013).
Pengertian, Jenis dan Pencegahan Fraud

Fraud pada dasarnya merupakan serangkaian ketidakberesan (irregularities) dan perbuatan melawan hukum (illegal act) yang dilakukan oleh orang luar atau orang dalam perusahaan guna mendapatkan keuntungan dan merugikan orang lain.

Berikut definisi dan pengertian fraud dari beberapa sumber buku:
  • Menurut Tunggal (2009), fraud atau kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberikan manfaat keuangan pada si penipu. 
  • Menurut Rozmita (2013), fraud adalah penyimpangan, error (kesalahan) dan irregularities (ketidakberesan dalam masalah financial). 
  • Menurut Pusdiklatwas BPKP (2002), fraud adalah suatu perbuatan melawan atau melanggar hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau dari luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.
  • Menurut Sawyer’s (2004), fraud adalah suatu tindakan pelanggaran hukum yang dicirikan dengan penipuan, menyembunyikan, atau melanggar kepercayaan. 
  • Menurut Karyono (2013), fraud adalah penyimpangan dan perbuatan melanggar hukum (illegal act), yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu misalnya menipu atau memberikan gambaran keliru (mislead) kepada pihak-pihak lain, yang dilakukan oleh orang-orang baik dari dalam maupun dari luar organisasi.

Jenis-jenis Fraud 

Menurut The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) merupakan organisasi profesional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam tiga tingkatan yang disebut Fraud Tree, yaitu sebagai berikut (Albrech, 2009):

a. Penyimpangan atas asset (Asset Misappropriation) 

Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).

b. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement) 

Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.

c. Korupsi (Corruption) 

Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).

Sedangkan menurut Albrecht (2012), fraud dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:
  1. Employee embezzlement atau occupational fraud. Pencurian yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh karyawan kepada perusahaan.
  2. Management fraud. Manajemen puncak memberikan informasi yang bias dalam laporan keuangan. 
  3. Investment scams. Melakukan kebohongan investasi dengan menanam modal. 
  4. Vendor fraud. Perusahaan mengeluarkan tarif yang mahal dalam hal pengiriman barang. 
  5. Customer fraud. Pelanggan menipu penjual agar mereka mendapatkan sesuatu yang lebih dari seharusnya.

Fraud Triangle dan Fraud Diamond 

Menurut Fuad (2015), terdapat tiga hal yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan kecurangan (fraud) yang dikenal dengan istilah fraud triangle, yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity) dan pembenaran atas tindakan (rationalization).
  1. Pressure (tekanan), yaitu adanya insentif/tekanan/kebutuhan untuk melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain termasuk hal keuangan dan non keuangan. Terdapat empat jenis kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat mengakibatkan kecurangan, yaitu financial stability, external pressure, personal financial need, dan financial targets. 
  2. Opportunity (kesempatan), yaitu situasi yang membuka kesempatan untuk memungkinkan suatu kecurangan terjadi. Biasanya terjadi karena pengendalian internal perusahaan yang lemah, kurangnya pengawasan dan penyalahgunaan wewenang. Opportunity merupakan elemen yang paling memungkinkan diminimalisir melalui penerapan proses, prosedur, dan upaya deteksi dini terhadap fraud. 
  3. Rationalization (rasionalisasi), yaitu adanya sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang membolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan fraud. Rasionalisasi atau sikap (attitude) yang paling banyak digunakan adalah hanya meminjam (borrowing) aset yang dicuri dan alasan bahwa tindakannya untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya.
Fraud diamond merupakan sebuah pandangan baru tentang fenomena fraud atau kecurangan. Fraud diamond merupakan penyempurnaan dari fraud triangle dengan menambahkan satu elemen yaitu capability (kemampuan). Banyak fraud yang umumnya bernominal besar tidak mungkin terjadi apabila tidak ada orang tertentu dengan capability (kemampuan) khusus yang ada dalam perusahaan.

Menurut Wolfe dan Hermanson (2004), sifat-sifat terkait elemen capability (kemampuan) yang sangat penting dalam pribadi pelaku kecurangan, yaitu:
  1. Positioning. Posisi seseorang atau fungsi dalam organisasi dapat memberikan kemampuan untuk membuat atau memanfaatkan kesempatan untuk penipuan.Seseorang dalam posisi otoritas memiliki pengaruh lebih besar atas situasi tertentu atau lingkungan. 
  2. Intelligence and creativity. Pelaku kecurangan ini memiliki pemahaman yang cukup dan mengeksploitasi kelemahan pengendalian internal dan untuk menggunakan posisi, fungsi, atau akses berwenang untuk keuntungan terbesar.
  3. Convidence / Ego. Individu harus memiliki ego yang kuat dan keyakinan yang besar dia tidak akan terdeteksi. Tipe kepribadian umum termasuk seseorang yang didorong untuk berhasil di semua biaya, egois, percaya diri, dan sering mencintai diri sendiri (narsisme).
  4. Coercion. Pelaku kecurangan dapat memaksa orang lain untuk melakukan atau menyembunyikan penipuan. Seorang individu dengan kepribadian yang persuasif dapat lebih berhasil meyakinkan orang lain untuk pergi bersama dengan penipuan atau melihat ke arah lain. 
  5. Deceit. Penipuan yang sukses membutuhkan kebohongan efektif dan konsisten. Untuk menghindari deteksi, individu harus mampu berbohong meyakinkan, dan harus melacak cerita secara keseluruhan. 
  6. Stress. Individu harus mampu mengendalikan stres karena melakukan tindakan kecurangan dan menjaganya agar tetap tersembunyi sangat bisa menimbulkan stres.

Pencegahan Fraud 

Pencegahan fraud dapat dilakukan dengan mengaktifkan pengendalian internal. Selain itu, fraud dapat dicegah dengan adanya kesadaran setiap individu. Berikut ini adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pencegahan fraud, yaitu:
  1. Risk Analysis. Desain kebijakan anti korupsi harus diawali dengan melakukan analisa apa saja pola korupsi yang mungkin terjadi. Kemudian ditindaklanjuti dengan desain program anti korupsi yang sejalan dengan analisa tersebut. 
  2. Implementasi. Melakukan sosialisasi kebijakan anti korupsi, pelatihan anti korupsi, dan evaluasi proses bisnis untuk menghindari korupsi.
  3. Sanksi. Harus ada sosialisasi kepada seluruh karyawan mengenai sangsi atas korupsi. Sangsi itu dapat berupa pengurangan kompensasi, tidak naik jabatan, atau bahkan pemecatan dan/atau proses hukum. 
  4. Monitoring. Melakukan evaluasi program anti korupsi secara berkala dan mengambil langkah perbaikan secara terus menerus.

Daftar Pustaka

  • IAPI. 2013. Standar Audit (SA 220)/Institut Akuntan Publik Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
  • Tunggal, Amin Widjaja. 2009. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Harvindo.
  • Rozmita dan Nelly. 2012. Gejala Fraud Dan Peran Auditor Internal Dalam Pendeteksian Fraud Di Lingkungan Perguruan Tinggi (Studi Kualitatif). Banjarmasin: Jurnal Simposium Nasional Akuntansi XV.
  • Pusdiklatwas BPKP. 2008. Etika dalam Fraud. Jakarta: BPKP.
  • Sawyer, B.Lawrence, Dittenhofer, Mortimer and James H. Scheiner. 2005. Sawyer’s Internal Auditing. Jakarta: Salemba Empat.
  • Karyono. 2013. Forensic Fraud. Yogyakarta: ANDI.
  • Albrecht, W. Steve. 2012. Fraud Examination. South Western: Cengage Learning.
  • Fuad, Haris. 2015. Pengaruh Pengalaman, Otonomi, Profesionalisme, ambiguitas peran, dan Motivasi terhadap Kinerja Auditor. Surakarta: Universitas Muhamadiyah Surakarta.
  • Wolfe, David T., dan Hermanson, Dana R. 2004. The Fraud Diamond: Considering the Four Elements of Fraud. CPA Journal, Dec 2004, Vol. 74, Issue 12.
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Pengertian, Jenis dan Pencegahan Fraud. Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2019/03/pengertian-jenis-dan-pencegahan-fraud.html