Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pengertian, Jenis dan Sumber Hukum Arbitrase

Arbitrase adalah salah satu cara atau proses pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa tidak menggunakan jalur pengadilan, namun berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis serta disepakati oleh para pihak lebih dari satu orang dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.

Pengertian, Jenis dan Sumber Hukum Arbitrase

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Arbitrase memiliki beberapa kesamaan istilah, antara lain perwasitan (Indonesia), Arbitrate (Latin), Arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), Arbitrage atau schiedspruch (Jerman), arbitrage (Perancis), kesemuanya memiliki arti yang sama yaitu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan (Subekti, 1992).

Perbedaan antara arbitrase dan pengadilan adalah apabila jalur pengadilan menggunakan satu peradilan permanen, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yaitu forum yang dibentuk khusus untuk kegiatan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Dalam arbitrase, arbiter bertindak sebagai hakim dalam mahkamah arbitrase, yang mana status hakim tersebut bersifat tidak permanen dan pembentukan-nya semula dimaksudkan hanya untuk sementara waktu dan untuk menangani peristiwa tersebut.

Berikut definisi dan pengertian arbitrase dari beberapa sumber buku:
  • Menurut Subekti (1992), arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. 
  • Menurut Abdurrasyid (1996), arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak. 
  • Menurut Marwan dan Jimmy (2009), arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang hanya didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dimuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 
  • Menurut Harahap (1991), arbitrase merupakan ikatan kesepakatan di antara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian oleh badan arbitrase. Para pihak sepakat untuk tidak mengajukan persengketaan yang terjadi ke badan peradilan. 

Jenis-jenis Arbitrase 

Menurut Emirzon (2011), berdasarkan eksistensi dan kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, terdapat dua jenis arbitrase yaitu arbitrase institusional dan arbitrase adhoc. Adapun penjelasan dari dua jenis arbitrase tersebut adalah sebagai berikut:

a. Arbitrase Institusional (Permanent) 

Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen, sehingga disebut juga permanent arbitral body yaitu selain dikelola dan diorganisasikan secara tetap, keberadaannya juga terus menerus untuk jangka waktu tidak terbatas. Ada sengketa maupun tidak ada, lembaga tersebut akan tetap berdiri dan tidak akan bubar, sekalipun setelah sengketa yang ditanganinya telah selesai diputus. Didirikannya arbitrase ini dengan tujuan dalam rangka menyediakan sarana penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan.Arbitrase institusional pada umumnya dipilih oleh para pihak sebelum sengketa terjadi, yang dituangkan dalam perjanjian arbitrase.

b. Arbitrase Adhoc (Volunteer) 

Arbitrase Adhoc atau Volunteer merupakan bentuk alternatif dari arbitrase institusional. Arbitrase adhoc adalah arbitrase yang tidak diselenggarakan atau tidak melalui suatu badan atau lembaga arbitrase tertentu (institutional arbitration). Arbitrase ini dilakukan oleh tim-tim arbitrase yang sifatnya temporer dan hanya dibentuk secara insidential untuk setiap sengketa yang terjadi. Para pihak dapat mengatur cara-cara pelaksanaan pemilihan para arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur administratif dari arbitrase.

Menurut Harahap (2001), terdapat dua jenis perjanjian arbitrase, yaitu pactum de compromittendo dan akta komparis. Penjelasan kedua perjanjian arbitrase tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pactum De Compromittendo 

Pactum de compromittendo artinya kesepakatan setuju dengan keputusan arbiter. Adapun penjelasan atas Pactum de compromittendo diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, yaitu: undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.

b. Akta Kompromis 

Akta kompromis adalah perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbul perselisihan antara para pihak atau dengan kata lain dalam perjanjian tidak diadakan persetujuan arbitrase. Lebih lanjut mengenai akta kompromis diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
  1. Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. 
  2. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. 
  3. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud harus memuat hal-hal sebagai berikut: a) Masalah yang dipersengketakan; b) Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c) Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter; d) Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e) Nama lengkap sekretaris; f) Jangka waktu penyelesaian sengketa; g) Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h) Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase; 
  4. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.

Sumber Hukum Arbitrase 

a. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 

Berdasarkan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dianut prinsip bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, dalam Pasal 58 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan, upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan tersebut menunjukkan adanya legalitas dan peran arbitrase dalam tata hukum Indonesia.

b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 

Arbitrase yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal 

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 merupakan Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Invesment Disputes between States and National of Other States). Tujuan menetapkan persetujuan ratifikasi atas konvensi tersebut adalah untuk mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Dengan pengakuan dan persetujuan atas Konvensi tersebut, Indonesia menempatkan diri untuk tunduk pada ketentuan International Centre for the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States (ICSID) yang melahirkan Dewan Arbitrase ICSID.

d. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award

Peraturan lain yang menjadi sumber hukum berlakunya arbitrase di Indonesia adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1981 yang ditetapkan tanggal 5 Agustus 1981. Ketentuan ini bertujuan untuk memasukkan Convention on the Recognition and the Enforcement of Foreign Arbitral Award atau yang lazim disebut Konvensi New York 1958, ke dalam tata hukum di Indonesia.

e. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing 

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990, yang bertujuan untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Alasan dikeluarkannya Perma No. 1 Tahun 1990 tersebut adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum acara perdata Indonesia sebagaimana diatur dalam HIR atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui dan Reglement op de Rechtsvordering (Rv) tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing.

f. UNCITRAL Arbitration Rules 

Sumber hukum arbitrase lain yang sudah dimasukkan ke dalam sistem hukum nasional Indonesia adalah UNCITRAL Arbitration Rules. UNCITRAL dilahirkan sebagai Resolusi sidang Umum PBB Tanggal 15 Desember 1976 (Resolution 31/98 Adopted by the General Assembly in 15 December 1976). Tujuan PBB melahirkan UNCITRAL adalah untuk mengglobalisasikan dan menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara arbitrase dalam menyelesaikan persengketaan yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional.

Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase 

Arbitrase dianggap memiliki beberapa keunggulan di bandingkan dengan cara litigasi. Oleh karena itu, dalam praktik para pelaku bisnis dan dunia usaha ada kecendrungan untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Adapun keunggulan penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase dibandingkan dengan proses penyelesaian melalui Peradilan antara sebagai berikut:
  1. Para pihak di dalam Arbitrase dapat memilih Hakim yang diinginkan, sehingga dipandang dapat menjamin netralitas dan keahlian yang diperlukan dalam menyelesaikan sengketa. 
  2. Para pihak juga dapat menetapkan hukum yang mana yang akan diaplikasikan dalam pemeriksaan sengketa, dan melalui hal ini dapat ditekan rasa takut, was-was dan ketidakyakinan mengenai hukum substansi dari negara. 
  3. Kerahasiaan dalam proses penyelesaian melalui Arbitrase akan melindungi para pihak dari pengungkapan kepada umum mengenai segala sesuatu hal yang dapat merugikan. Selain itu proses penyelesaian Arbitrase seringkali dipandang sebagai penyelesaian sengketa yang lebih efisien dalam biaya maupun waktu pelaksanaannya, jika dibandingkan penyelesaian melalui Peradilan umum.
  4. Arbiter pada umumnya memiliki kearifan dalam memeriksa sengketa, menyelesaikan dan menerapkan prinsip hukum serta pertimbangan-pertimbangan hukum.
  5. Penyelesaian melalui Arbitrase dipandang lebih cepat jika penyelesaian sengketa melalui Peradilan umum, karena penyelesaian melalui Arbitrase di berikan batas waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak Arbitrase terbentuk.
Meskipun arbitrase dianggap memiliki berbagai kelebihan, namun dalam praktiknya memiliki kelemahan-kelemahan, antara lain adalah sebagai berikut (Basarah, 2011):
  1. Bahwa untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa kepada arbitrase tidaklah mudah, karena kedua pihak harus sepakat terlebih dahulu padahal untuk mencapai kesepakatan atau persetujuan itu kadang-kadang memang sulit. 
  2. Dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum atau keterikatan kepada putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Maka adalah logis adanya kemungkinan timbulnya keputusan-keputusan yang saling berlawanan.
  3. Arbitrase ternyata tidak memberikan jawaban yang definitif terhadap semua sengketa hukum.
  4. Keputusan arbiter selalu bergantung kepada bagaimana mengeluarkan keputusan yang memuaskan keinginan para pihak. Karena hal ini pula timbul adanya pernyataan populer tentang arbitrase, yaitu: an arbitration is a good as arbitrators.
  5. Arbitrase dapat berlangsung lama dan karenanya membawa akibat biaya yang tinggi, terutama dalam hal arbitrase luar negeri.

Daftar Pustaka

  • Subekti. 1992. Arbitrase Perdagangan. Bandung: Bina Cipta.
  • Abdurrasyid, H. Priyatna. 1996. Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional di luar Pengadilan. Semarang: Makalah. 
  • Marwan, M. dan Jimmy, P. 2009. Kamus Hukum. Surabaya: Reality Publisher.
  • Harahap, M. Yahya. 1991. Arbitrase. Jakarta: Pustaka Kartini.
  • Harahap, M. Yahya. 2001. Arbitrase Ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur Bani, Internasional Centre for the Settlement of Investment disputes, UNICITRAL Arbitration Rules. Jakarta: Sinar Grafika.
  • Basarah, Moch. 2011. Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional dan Modern (Online). Bandung: Genta Publishing.
  • Emirzon, Joni. 2011. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Pengertian, Jenis dan Sumber Hukum Arbitrase. Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2019/04/pengertian-jenis-dan-sumber-hukum-arbitrase.html