Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pengertian, Tujuan dan Nilai-nilai Tasawuf

Tasawuf adalah salah satu upaya atau usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk menyucikan jiwa dengan cara menjauhi pengaruh kehidupan yang bersifat kesenangan duniawi dengan cara mendekatkan diri kepada Allah sehingga kehadiran Allah senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan (Pemadi, 2004).

Pengertian, Tujuan dan Nilai-nilai Tasawuf

Tasawuf merupakan cabang imu yang menekankan dimensi rohani daripada materi, akhirat daripada dunia fana, dan bathin daripada lahir. Nilai spiritual seperti keikhlasan ibadah dan kerinduan kepada Allah merupakan tujuan pokok tasawuf. Para sufi berzuhud, menerima kepurusan Allah SWT dengan hati lapang dan berdzikir hingga mencapai kesatuan wujud (Armando, 2005).

Berikut pengertian tasawuf berdasarkan etimologi atau asal bahasanya:
  • Ahlu suffah, yaitu sekelompok orang pada masa Rasulullah yang hidupnya diisi dengan banyak berdiam di serambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
  • Shafa, yaitu nama bagi orang-orang yang bersih atau suci. Makna tersebut sebagai nama dari mereka yang memiliki hati yang bersih atau suci, maksudnya adalah bahwa mereka menyucikan dirinya di hadapan Allah SWT.
  • Shaf, yaitu orang-orang yang ketika salat berada di barisan yang paling depan. Makna shaff ini dinisbahkan kepada para jemaah yang selalu berada pada barisan terdepan ketika solat, sebagaimana solat yang berada di barisan pertama maka akan mendapat kemuliaan dan pahala.
  • Sufi, istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang disamakan artinya dengan hikmah, yang berarti kebijaksanaan.
  • Shaufanah, yaitu sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu-bulu, yang banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dan pakaian kaum sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.
  • Shuf, yang berarti bulu domba atau wol. Mereka disebut sufi karena memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang terbuat dari bulu domba menjadi pakaian khas kaum sufi, bulu domba atau wol saat itu bukanlah wol lembut seperti sekarang melainkan wol yang sangat kasar, itulah lambang dari kesederhanaan pada saat itu. Berbeda dengan orang kaya saat itu yang memakai kain sutra. 
  • Shuffah, yaitu serambi Masjid Nabawi yang ditempati sebagian sahabat Rasulullah. Makna tersebut dilatarbelakangi oleh sekelompok sahabat yang hidup zuhud dan konsentrasi beribadah kepada Allah SWT serta menimba ilmu bersama Rasulullah yang menghuni serambi Masjid Nabawi.
Sedangkan pengertian tasawuf berdasarkan pendapat para ahli sufi antara lain sebagai berikut:
  • Menurut Al-Junaid Al-Bagdadi (Pemadi, 2004), tasawuf adalah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadianNya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syariat Rasulullah SAW.
  • Menurut Abu Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi (Pemadi, 2004), tasawuf adalah menjabarkan ajaran-ajaran Al Quran dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bidah. mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringankan ibadah. 
  • Menurut Abu Yazid al-Bustami (Pemadi, 2004), tasawuf mencakup tiga aspek yaitu takhalli (melepaskan diri dari perangai yang tercela), tahalli (menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (mendekatkan diri kepada Tuhan). 
  • Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (Alba, 2012), tasawuf adalah menyucikan hati dan melepaskan nafsu dari pangkalnya dengan khalawt, riyadloh, taubah dan ikhlas. 
  • Menurut Syaikh Ibnu Ajibah (Alba, 2012), tasawuf merupakan ilmu yang membawa seseorang agar bisa bersama dengan Allah SWT melalui penyucian jiwa batin dan mempermanisnya dengan amal saleh dan jalan tasawuf tersebut diawali dengan ilmu, tengahnya amal dan akhirnya adalah karunia Ilahi. 
  • Menurut H. M. Amin Syukur (Alba, 2012), tasawuf adalah latihan dengan kesungguhan (riya-dloh, mujahadah) untuk membersihkan hati, mempertinggi iman dan memperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri manusia kepada Allah sehingga segala perhatiannya hanya tertuju kepada Allah.

Tujuan Tasawuf 

Menurut Rivay (2002), tujuan tasawuf adalah sebagai berikut:
  1. Pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini bersifat praktis. 
  2. Ma'rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyaf al-hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistematis analitis. 
  3. Membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan Tuhan.

Nilai-nilai Tasawuf 

Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang. Terdapat nilai-nilai tasawuf yang harus dijalankan untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam rangka menyucikan jiwa, yaitu:

a. Al Taubat 

Al Taubat berasal dari bahasa Arab yaitu taba, yatuubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh- sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan (Siregar, 2002).

Taubat merupakan tingkatan pertama yang harus ditempuh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Taubat adalah asal dari semua maqam, dan taubat yang dimaksud oleh para sufi adalah taubat yang sebenarnya yang tidak akan membawa dosa itu kembali.

Taubat dapat dikatakan sah, apabila orang yang bertaubat tersebut benar-benar menyesal atas perbuatannya serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi sepanjang hidupnya. Orang yang bertaubat dapat dikenali dengan berbagai tanda, antara lain kepekaan hati, banyak menangis, mantap dalam ketaatan, menjauhi teman-temannya yang tidak baik serta tempat-tempat terlarang. Taubat juga harus diiringi dengan memperbanyak istighfar, baik di tengah malam maupun di siang hari, dan memperbanyak amal perbuatan yang baik.

b. Al Zuhud 

Al Zuhud berasal berasal dari istilah al-zaahiduun, yang maknanya bahwa saudara-saudara Yusuf sudah tidak tertarik lagi hatinya kepada Yusuf. Selain itu kata zuhud juga berawal dari kata zahada yang artinya benci dan meninggalkan sesuatu. Dari ungkapan ini, sikap zuhud diartikan sebagai sikap tidak terpengaruhnya hati kepada masalah keduniaan (Sholikhin, 2009).

Menurut istilah, arti zuhud adalah mengarahkan seluruh keinginan hanya kepada Allah SWT serta menyatukan kemauan kepada Nya dan hanya sibuk dengan Nya dibandingkan dengan kesibukan lainnya. sebagaimana Al-Junayd berkata, zuhud adalah mengosongkan tangan dari harta dan mengososngkan hati dari kelatahan. Maksudnya bahwa seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga melainkan hanya Tuhan yang dirasakan dekat dengan dirinya (Amin, 2012).

Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan, yaitu; pertama, kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci (Ismail, 1998).

c. Wara' 

Wara' artinya menjauhi dosa, lemah, lunak hati dan penakut. Menurut Ibrahim ibn Adham, wara' adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang meragukan) dan meninggalkan sesuatu yang tidak berguna. Wara' merupakan suatu permulaan dari zuhud, sedangkan yang merupakan akhir dari keridhoaan itu adalah qana'ah.

M enurut Yahya bin Mu'adz, terdapat dua tingkatan Wara' yaitu wara' lahir dan wara' batin. Wara' lahir yaitu semua gerak kegiatan yang hanya ditunjukan hanya kepada Allah SWT sedangkan wara' batin yaitu hati yang sama sekali tidak dimasuki oleh sesuatu melainkan hanya mengingat Allah SWT semata jadi tidak ada di dalam hatinya itu masukan yang menduakan Allah SWT dengan yang lainnya atau yang menyamaiNya.

d. Al Shabr 

Al shabr atau sabar adalah menahan dan mencegah diri. Menurut Zun al Nun al Mishri, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tapi tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam keadaan fakir dalam bidang ekonomi (Nata, 1996).

Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, sabar dibagi dalam tingkatan yaitu (Amin, 2012):
  1. As-shobru lillah, (sabar untuk Alllah), yaitu keteguhan hati dalam melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. 
  2. As-shobru ma'allah (sabar bersama Allah), yaitu keteguhan hati dalam menerima segala keputusan dan tindakan Allah. 
  3. As-shobru 'alallah (sabar atas Allah), yaitu keteguhan hati dan kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang diijinkanNya, seperti berupa rizki dan kesulitan hidup.

e. Taslim 

Taslim adalah sikap mental dalam menghadapi ketetapan-ketetapan Allah baik bersifat hukum atau kodrat iradrat Allah. Taslim berkaitan dengan berserah diri patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara lahir dan batin. Kewajiban seorang muslim untuk tunduk dan taslim secara sempurna serta tunduk kepada perintahnya.

f. Ikhlas 

Ikhlas adalah terpeliharanya diri dari ketidak ikut campuran semua makhluk. Ikhlas arti bahasanya adalah murni. Tidak ada campuran sedikitpun. Maksudnya di dalam menjalankan amal ibadah apa saja disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih duniawi, baik pamrih yang bersifat moral maupun batin lebih-lebih pamrih dalam bentuk material. Ibadah apa saja. Baik ibadah yang berhubungan langsung kepada Allah wa Rasulihi SAW maupun yang berhubungan di dalam kehidupan bermasyarakat, terhadap sesama makhluk pada umumnya.

Ikhlas dalam pandangan sufi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (Isa, 2005):
  1. Ikhlasnya orang awam yaitu melakukan ibadah kepada Allah akan tetapi masih mengharapkan sesuatu dari Allah seperti pahala, surga, keselamatan dunia dan akhirat.
  2. Ikhlasnya orang khawass yaitu ikhlas dalam melakukan ibadah kepada Allah dan tidak mengharapkan pahala duniawi, tetapi mengharapkan pahala ukhrawi.
  3. Ikhlasnya orang khawwas al-khawwas yaitu beribadah kepada Allah dan mengesampingkan mengharapkan pahala baik dunia maupun akhirat. Ibadahnya hanya semata-mata kepada Allah dan didorong oleh perasaan cinta kepada Allah.

g. At Tawakkal 

Tawakkal berasal dari kata tawakkul yang artinya mewakilkan atau menyerahkan. Tawakkal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan. Secara harfiah tawakkal adalah menyerahkan diri. Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Ia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

h. Syukur 

Untuk mencapai tingkat dalam perbaikan akhlak, kaum shufi mengajarkan sifat syukur atau berterima kasih kepada Tuhan atas segala nikmat pemberian Allah. Syukur ialah keadaan seseorang mempergunakan nikmat yang diberikan oleh Allah itu kepada kebajikan. Hakikat syukur adalah dengan cara mengingat kepada kebaikan yang diberikan orang yang berbuat baik dengan memujinya, dengan mengingat akan kebaikan Allah SWT (Zahri, 1998).

Terdapat tiga bagian syukur, yaitu (Zahri, 1998):
  1. Syukur dengan lisan maksudnya adalah dengan cara merendahkan diri dan semua kenikmatan yang kita dapati itu semua adalah merupakan pemberian dari Allah SWT. 
  2. Syukur dengan badan, senantiasa untuk selalu mengabdi dan juga sepakat kepada-Nya.
  3. Syukur dengan hati, dihadapan Allah swt, ia selalu mengasingkan akan dirinya dan dengan cara tetap menjaga akan keagungan Allah swt dan biasanya ini menunjukkan syukurnya orang yang ahli dalam ma'rifat.

i. Al Ridha 

Al Ridha adalah menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima, serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib dirinya (Syahbat, 2001).

Ridha merupakan maqam yang lebih mulia dan tinggi daripada sabar, ridha merupakan kepasrahan jiwa yang akan membawa seorang ahli makrifat segala suatu yang diridhai oleh Allah. Rasulullah saw menjelaskan bahwa orang yang ridha terhadap ketetapan Allah adalah orang yang paling kaya, sebab ia adalah orang yang merasakan kebahagiaan dan ketenteraman serta paling jauh dari kesedihan, kemarahan, dan kekayaan (Isa, 2005).

j. Mahabbah 

Arti Mahababah secara bahasa adalah cinta. Sedangkan secara terminologi mahabbah adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Sedangkan arti mahabbah dalam jalan sufi adalah suatu usaha yang wajib untuk dikerjakan demi mencintai Allah SWT.

Orang-orang yang mencintai Allah (muhibbin) terbagi tiga kelompok, yaitu masyarakat umum (awam), elit spiritual (khawash), dan elit spiritual terkemuka (khawash al-khawash). Kecintaan kelompok awam kepada Allah lahir sebagai akibat dari banyaknya kebaikan Allah. Kecintaan kelompok khawash kepadaNya lahir sebagai akibat keterbebasan dari ketercelaan. Adapun kecintaan kelompok khawash al-khawash merupakan ungkapan tentang luapan cinta (al 'isyq) di mana orang yang jatuh cinta terhapus di hadapan cahaya kekasihnya.

Daftar Pustaka

  • Armando, Nina M. 2005. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru. 
  • Pemadi, Van Hoeve. 2004. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Alba, Cecep. 2012. Tasawuf dan Tarekat Dimensi Esoteris Ajaran Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Rivay, A. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Jakarta: Raja Garafindo Persada.
  • Siregar, HA. Rivery. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Sholikhin, Muhammad. 2009. Tradisi Sufi dari Nabi. Yogyakarta: Cakrawala.
  • Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah.
  • Ismail, I. Nugrahani. 1998. Syekh Syihabuddin Umar Suhrawardi, Awarif al-Ma’arif. Bandung: Pustaka Hidayah.
  • Nata, Abudin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
  • Isa, A. Qodir. 2005. Hakikat Tasawuf. Jakarta: Qishti Press.
  • Zahri, Mustafa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu.
  • Syahbat bin Muhammad Ash-Shawi. 2001. Mahabbah Ilahiyah - Menggapai Cinta Ilahi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Pengertian, Tujuan dan Nilai-nilai Tasawuf. Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2019/09/pengertian-tujuan-dan-nilai-tasawuf.html