Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Karakteristik, Penyebab dan Metode Belajar Anak Tunanetra

Tunanetra adalah suatu kondisi penglihatan dimana anak yang memiliki visus sentralis 6/60 lebih kecil dari itu atau setelah dikoreksi secara maksimal penglihatannya tidak memungkinkan lagi mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang biasa digunakan oleh anak normal/orang awas (Efendi, 2006).

Karakteristik, Penyebab dan Metode Belajar Anak Tunanetra

Istilah tunanetra berasal dari kata tuna yang berarti rusak dan netra yang berarti mata. Jadi tunanetra yaitu individu yang mengalami kerusakan atau hambatan pada organ mata. Selain itu tunanetra juga diartikan sebagai seseorang yang sudah tidak mampu memfungsikan indra penglihatannya untuk keperluan pendidikan dan pengajaran walaupun telah dikoreksi dengan lensa (Cahya, 2013).

Menurut para medis, tunanetra merupakan orang yang memiliki ketajaman sentral 20/200 feet atau ketajaman penglihatannya hanya pada jarak 6 meter atau kurang, walaupun dengan menggunakan kacamata, atau daerah penglihatannya sempit sehingga jarak sudutnya tidak lebih dari 20 derajat. Sedangkan orang dengan penglihatan normal akan mampu melihat dengan jelas sampai pada jarak 60 meter atau 200 kaki (Hidayat & Suwandi, 2013).

Seseorang dikatakan tunanetra apabila menggunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar atau kegiatan yang lainnya dan ada juga mengatakan tunanetra adalah kondisi dari indera penglihatan yang tidak sempurna yang tidak dapat berfungsi sebagai orang awas (normal). Tunanetra tidak saja mengarah pada mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi sangat terbatas dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar.

Jenis-jenis Tunanetra 

Menurut Smart (2010), secara umum tunanetra terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu:
  1. Kurang penglihatan (low vision). Kurang penglihatan atau low vision adalah suatu kondisi penglihatan yang apabila melihat sesuatu maka harus didekatkan atau mata harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya atau memiliki pemandangan kabur ketika melihat objek. Penderita tunanetra jenis low vision perlu menggunakan kacamata atau kotak lensa. 
  2. Buta Total (totally blind). Buta total adalah kondisi penglihatan yang tidak dapat melihat dua jari di mukanya atau hanya melihat sinar atau cahaya. Mereka tidak bisa menggunakan huruf selain huruf braille.
Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, tunanetra dibagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu sebagai berikut (Hartono, 2010):

a. Tunanetra berdasarkan waktu terjadinya 

  1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan. 
  2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil, yaitu mereka yang telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual, tetapi belum kuat dan mudah terlupakan. 
  3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, yaitu mereka yang yang telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi. 
  4. Tunanetra pada usia dewasa, yaitu pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri. 
  5. Tunanetra dalam usia lanjut, yaitu sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri. 

b. Tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan 

  1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision), yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan, tetapi mereka yang mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan. 
  2. Tunanetra setengah berat (partially sighted), yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal. 
  3. Tunanetra berat (totally blind), yakni mereka yang sama sekali tidak bisa melihat. 

c. Tunanetra berdasarkan pemeriksaan klinis 

  1. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat. 
  2. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.

d. Tunanetra berdasarkan kelainan pada mata 

  1. Myopia, yaitu penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita myopia digunakan kacamata proyeksi dengan lensa negatif. 
  2. Hyperopia, yaitu penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus, dan jatuh tepat di retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif. 
  3. Astigmatisme, yaitu penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.

Karakteristik Anak Tunanetra 

Menurut Rudiyati (2002), anak penyandang tuna yang kehilangan informasi secara visual memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Rasa curiga terhadap orang lain 

Tidak berfungsinya indera penglihatan berpengaruh terhadap penerimaan informasi visual saat berkomunikasi dan berinteraksi. Seorang anak tunanetra tidak memahami ekspresi wajah dari teman bicaranya atau hanya dapat melalui suara saja. Hal ini mempengaruhi saat teman bicaranya berbicara dengan orang lainnya secara berbisik-bisik atau kurang jelas, sehingga dapat mengakibatkan hilangnya rasa aman dan cepat curiga terhadap orang lain. Anak tunanetra perlu dikenalkan dengan orang-orang di sekitar lingkungannya terutama anggota keluarga, tetangga, masyarakat sekitar rumah, sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.

b. Perasaan mudah tersinggung 

Perasaan mudah tersinggung juga dipengaruhi oleh keterbatasan yang ia peroleh melalui auditori/pendengaran. Bercanda dan saling membicarakan agar saat berinteraksi dapat membuat anak tunanetra tersinggung. Perasaan mudah tersinggung juga perlu diatasi dengan memperkenalkan anak tunanetra dengan lingkungan sekitar. Hal ini untuk memberikan pemahaman bahwa setiap orang memiliki karakteristik dalam bersikap, bertutur kata dan cara berteman. Hal tersebut bila diajak bercanda, anak tunanetra dapat mengikuti tanpa ada perasaan tersinggung bila saatnya ia yang dibicarakan.

c. Verbalisme 

Pengalaman dan pengetahuan anak tunanetra pada konsep abstrak mengalami keterbatasan. Hal ini dikarenakan konsep yang bersifat abstrak seperti fatamorgana, pelangi dan lain sebagainya terdapat bagian-bagian yang tidak dapat dibuat media konkret yang dapat menjelaskan secara detail tentang konsep tersebut, sehingga hanya dapat dijelaskan melalui verbal. Anak tunanetra yang mengalami keterbatasan dalam pengalaman dan pengetahuan konsep abstrak akan memiliki verbalisme, sehingga pemahaman anak tunanetra hanya berdasarkan kata-kata saja (secara verbal) pada konsep abstrak yang sulit dibuat media konkret yang dapat menyerupai.

d. Perasaan rendah diri 

Keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra berimplikasi pada konsep dirinya. Implikasi keterbatasan penglihatan yaitu perasaan rendah diri untuk bergaul dan berkompetisi dengan orang lain. Hal ini disebabkan bahwa penglihatan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memperoleh informasi. Perasaan rendah diri dalam bergaul terutama dengan anak awas. Perasaan tersebut akan sangat dirasakan apabila teman sepermainannya menolak untuk bermain bersama.

e. Adatan 

Adatan merupakan upaya rangsang bagi anak tunanetra melalui indera nonvisual. Bentuk adatan tersebut misalnya gerakan mengayunkan badan ke depan ke belakang silih berganti, gerakan menggerakkan kaki saat duduk, menggeleng-gelengkan kepala, dan lain sebagainya. Adatan dilakukan oleh anak tunanetra sebagai pengganti apabila dalam suatu kondisi anak yang tidak memiliki rangsangan baginya, sedangkan bagi anak awas dapat dilakukan melalui penglihatan dalam mencari informasi di lingkungan sekitar.

f. Suka berfantasi 

Implikasi dari keterbatasan penglihatan pada anak tunanetra yaitu suka berfantasi. Hal ini bila dibandingkan dengan anak awas dapat melakukan kegiatan memandang, sekedar melihat-lihat dan mencari informasi saat santai atau saat-saat tertentu. Kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh anak tunanetra, sehingga anak tunanetra hanya dapat berfantasi saja.

g. Berpikir kritis 

Keterbatasan informasi visual dapat memotivasi anak tunanetra dalam berpikir kritis terhadap suatu permasalahan. Hal ini bila dibandingkan anak awas dalam mengatasi permasalahan memiliki banyak informasi dari luar yang dapat mempengaruhi terutama melalui informasi visual. Anak tunanetra akan memecahkan permasalahan secara fokus dan kritis berdasarkan informasi yang ia peroleh sebelumnya serta terhindar dari pengaruh visual (penglihatan) yang dapat dialami oleh orang awas.

h. Pemberani 

Pada anak tunanetra yang telah memiliki konsep diri yang baik, maka ia memiliki sikap berani dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan pengalamannya. Sikap pemberani tersebut merupakan konsep diri yang harus dilatih sejak dini agar dapat mandiri dan menerima keadaan dirinya serta mau berusaha dalam mencapai cita-cita.

Faktor Penyebab Tunanetra 

Menurut Pradopo (1977), faktor-faktor penyebab terjadinya tunanetra pada seseorang adalah sebagai berikut:

a. Faktor endogen 

Faktor endogen atau faktor genetik adalah faktor yang sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Adapun ciri-ciri tunanetra yang disebabkan oleh faktor keturunan adalah bola mata yang normal tetapi tidak dapat menerima energi positif sinar atau cahaya, yang kadang-kadang seluruh bola matanya tertutup oleh selaput putih atau keruh.

b. Faktor eksogen atau faktor luar 

Faktor eksogen atau faktor dari luar yang menyebabkan tunanetra terdiri dari:
  1. Penyakit, yaitu virus rubella yang menjadikan seseorang mengalami campak pada tingkat akut yang ditandai dengan kondisi panas yang meninggi akibat penyerangan virus yang lama kelamaan akan mengganggu saraf penglihatan fungsi indera yang akan menjadi permanen, dan ada juga yang diakibatkan oleh kuman syphilis, degenerasi atau perapuhan pada lensa mata yang mengakibatkan pandangan mata menjadi mengeruh. 
  2. Kecelakaan, yaitu kecelakaan fisik akibat tabrakan atau jatuh yang berakibat langsung yang merusak saraf netra atau akibat rusaknya saraf tubuh yang lain atau saraf tulang belakang yang berkaitan erat dengan fungsi saraf netra, akibat terkena radiasi ultra violet atau gas beracun yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan fungsi mata untuk melihat, dan dari segi kejiwaan yaitu stress psikis akibat perasaan tertekan, kesedihan hati yang amat mendalam yang mengakibatkan seseorang mengalami tunanetra permanen.

Metode Belajar Anak Tunanetra 

Anak tunanetra membutuhkan metode pembelajaran khusus. Menurut Smart (2010), prinsip-prinsip pembelajaran pada anak tunanetra yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
  1. Prinsip Individual. Prinsip individual yakni suatu kondisi dimana guru harus memperhatikan setiap perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik tunanetra. Seperti perbedaan umum, mental, fisik, kesehatan dan tingkat ketunanetraan masing-masing siswa. 
  2. Prinsip Pengalaman Pengindraan. Pengalaman pengindraan siswa tunanetra sangat penting bagi pemahaman yang akan mereka peroleh. Siswa membutuhkan pengalaman nyata dari apa yang mereka pelajari. Dengan demikian strategi pembelajaran guru harus memungkinkan adanya pengalaman langsung siswa tunanetra terkait materi yang mereka pelajari. 
  3. Prinsip Totalitas. Prinsip totalitas maksudnya pembelajaran yang diterapkan pada siswa tunanetra hendaknya menggunakan seluruh fungsi indra yang masih berfungsi dengan baik pada diri mereka. Indra ini digunakan oleh guru untuk mengenali objek yang dipelajari siswa secara utuh dan menyeluruh. Misalnya seorang tunanetra ingin mengenali bentuk burung, pembelajaran yang diterapkan harus dapat memberikan informasi yang utuh dan baik mengenai bentuk, ukuran, sifat permukaan, kehangatan, suara dan ciri khas burung tersebut. Sehingga anak mampu mengenali objek secara sempurna. 
  4. Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity). Dalam proses pembelajaran guru dapat menjadi fasilitator dan motivator anak untuk dapat belajar secara aktif dan mandiri. Dalam prinsip ini proses pembelajaran bukan sekedar mendengar dan mencatat, akan tetapi juga ikut merasakan dan mengalaminya secara langsung.
Adapun media-media pembelajaran yang dapat digunakan sebagai pendukung proses belajar mengajar bagi anak penyandang tunanetra antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Huruf Braille. Huruf braille digunakan untuk keperluan membaca dan menulis bagi anak tunanetra. Huruf braille merupakan kumpulan titik-titik timbul yang disusun untuk menggantikan huruf biasa. Huruf braille tersusun dari enam buah titik, dua dalam posisi vertikal, dan tiga dalam posisi horizontal. Semua titik yang ditimbulkan dapat ditutup oleh satu jari sehingga memudahkan anak dalam membaca ataupun menulis braille. 
  2. Kamera Touch Sight. Kamera ini memiliki layar braille fleksibel yang menampilkan gambar tiga dimensi dengan gambar timbul di bagian permukaan. Kamera diletakkan di kening pengguna untuk merekam suara selama tiga detik yang menjadi petunjuk user untuk mengatur foto. 
  3. Mesin baca Kurzweil. Mesin ini dapat membaca suatu buku yang tercetak, hasil huruf-hurufnya dikeluarkan dalam bentuk suara. Mesin dapat membaca buku dari awal sampai akhir atau mengulang-ulang kata, kalimat, paragraf dengan terus menerus, bahkan mesin juga dapat mengeja kata. 
  4. Optacon. Optacon (Optical-to-Tactile converter) berfungsi untuk mengubah tulisan menjadi getaran. Optacon terdiri dari satu kamera dengan elemen photosensitive yang dihubungkan ke susunan sandi raba yang sesuai dengan huruf tertentu. Satu huruf yang dipindai oleh kamera akan menghasilkan pola getaran tertentu yang bisa dirasakan dengan meraba.
  5. Reglet. Untuk keperluan menulis anak tunanetra memerlukan alat khusus untuk memudahkannya. Alat khusus ini dikenal dengan sebutan reglet. 
  6. Mesin ketik braille. Mesin ketik braille lebih dikenal dengan keyboard khusus untuk tunanetra. Ketrampilan menggunakan keyboard ini sangat berguna untuk proses pembelajaran dan keahliannya. 
  7. Papan hitung dan sempoa. Untuk belajar menghitung anak tunanetra biasanya menggunakan papan hitung khusus ataupun sempoa. Bulir-bulir pada sempoa memudahkan indra anak untuk belajar matematika.

Daftar Pustaka

  • Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Cahya, Laili S. 2013. Buku Anak untuk ABK. Yogyakarta: Familia.
  • Hidayat dan Suwandi. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunanetra. Jakarta: Luxima Metro Indah.
  • Smart, Aqila. 2010. Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran dan Terapi untuk Anak berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
  • Rudiyati, Sari. 2002. Pendidikan Anak Tunanetra. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
  • Pradopo, S. 1977. Pendidikan Anak-anak Tunanetra. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Hartono, Bambang. 2010. Pelaksanaan Pendidikan Agama di Sekolah Luar Biasa, Kajian di Tiga Propinsi Indonesia: Kalimantan Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. 
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Karakteristik, Penyebab dan Metode Belajar Anak Tunanetra. Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2019/11/jenis-karakteristik-penyebab-dan-metode-belajar-anak-tunanetra.html