Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Self Assessment Sistem Perpajakan

Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang yang harus dibayar sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.

Self Assessment System Perpajakan

Self assessment system berlaku di Indonesia sejak tahun 1968, yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 8 tahun 1967, tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Melalui MPS dan MPO (Menghitung Pajak Sendiri dan Menghitung Pajak Orang Lain). Self assessment system berlaku secara penuh (Full Self Assessment System) sejak awal tahun 1984, khususnya terhadap pemungutan Pajak Penghasilan.

Self assessment system diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. Konsekuensinya, masyarakat harus benar-benar mengetahui tata cara perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan pemenuhan perpajakan.

Berikut definisi dan pengertian self assessment system dari beberapa sumber buku:
  • Menurut Waluyo dan Ilyas (2003), self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepercayaan, tanggungjawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. 
  • Menurut Mardiasmo (2013), self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. 
  • Menurut Resmi (2009), self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. 
  • Menurut Maskus (2005), Self assessment system adalah suatu sistem yang menentukan bahwa rakyat yang telah memenuhi syarat sebagai WP (penanggung beban pajak) secara otomatis harus menghitung dan menetapkan sendiri berapa besar nya utang pajaknya, menyetorkannya ke Kas Negara, dan mempertanggungjawabkan perhitungan, penetapan, dan pembayaran pajak tersebut kepada otoritas perpajakan yang disebut fiskus. 

Ciri-ciri Self Assesment System 

Self assessment system menyebabkan wajib pajak mendapat beban berat karena semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak terutang, menyetorkan jumlah pajak terutang. 

Menurut Mardiasmo (2013), ciri-ciri Self Assessment System, yaitu: 
  1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak itu sendiri. 
  2. Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 
  3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 
Karena menuntut kepatuhan secara sukarela dari wajib pajak maka sistem ini juga akan menimbulkan peluang besar bagi wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan, pemanipulasian perhitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang harusnya dibayarkan. Oleh karena itu sistem pemungutan melalui self assessment system dapat dibantu konsultan pajak untuk menentukan penetapan besarnya pajak yang terutang sendiri dan kemudian melaporkan pembayaran pajak dan penghitungan pajak secara teratur jumlah pajak terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Menurut Rahayu (2010), ciri-ciri Self Assessment System adalah sebagai berikut: 
  1. Wajib pajak (dapat dibantu oleh konsultan pajak) melakukan peran aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. 
  2. Wajib Pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas kewajiban perpajakannya sendiri.
  3. Pemerintah dalam hal ini instansi perpajakan melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, melalui pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang perpajakan sesuai peraturan yang berlaku.

Syarat Pelaksanaan Self Assessment System 

Menurut Suandy (2005), dalam pelaksanaan self assessment system diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menunjang keberhasilan dari pelaksanaan sistem pemungutan pajak, yaitu sebagai berikut: 
  1. Kesadaran wajib pajak (Tax Consciousnessi). Kesadaran Wajib Pajak artinya Wajib Pajak mau dengan sendirinya melakukan kewajiban perpajakannya seperti mendaftarkan diri, menghitung, membayar dan melaporkan jumlah pajak terutangnya. 
  2. Kejujuran wajib pajak. Kejujuran Wajib Pajak artinya Wajib Pajak melakukan kewajibannya dengan sebenar-benarnya tanpa adanya manipulasi, hal ini dibutuhkan didalam sistem ini karena fiskus memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri, menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutangnya. 
  3. Kemauan membayar pajak dari wajib pajak (Tax Mindedness). Tax Mindedness artinya Wajib Pajak selain memiliki kesadaran akan kewajiban perpajakannya, namun juga dalam dirinya memiliki hasrat dan keinginan yang tinggi dalam membayar pajak terutangnya. 
  4. Kedislipinan wajib pajak (Tax Dicipline). Kedisiplinan Wajib Pajak artinya Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya dilakukan dengan tepat waktu sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Sarana Kelengkapan Self Assessment System 

Pelaksanaan self assessment system membuat wajib pajak diwajibkan untuk mendaftarkan diri, menghitung, melaporkan dan menyetorkan pajaknya yang dilakukan sendiri oleh wajib pajak tersebut. Menurut Gunadi (2007), sarana perhitungan, pelaporan, serta penyetoran yang harus dilengkapi oleh wajib pajak antara lain adalah sebagai berikut: 
  1. Surat Pemberitahuan (SPT). Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-Undang Perpajakan (KUP). 
  2. Surat Setoran Pajak (SSP). Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara atau ke tempat pembayaran lain yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 
  3. Surat Tagihan Pajak (STP). Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. 
  4. Surat Ketetapan Pajak (SKP). Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang digunakan untuk menjadi dasar jumlah pajak yang harus dibayar, atau pajak kurang bayar tambahan, atau pajak lebih bayar, dan pajak nihil. 
  5. Surat Keputusan Pembetulan. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-perundangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak. 
  6. Surat Keputusan Keberatan. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Prinsip Self Assessment System 

Prinsip Self Assessment System dapat dilihat pada Pasal 12 Undang–Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: 
  1. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
  2. Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 
  3. Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya.
Pada ayat (1) tampak UU KUP menghendaki Wajib Pajak bersifat aktif dalam membayar pajak. Aktif di sini berarti menghitung sendiri pajak yang terutang tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak. Pada ayat (2) prinsip self assessment system pada UU KUP bahkan mengandung makna bahwa hasil perhitungan WP, berapa pun itu, untuk sementara dianggap sebagai perhitungan menurut ketentuan yang berlaku. Sedangkan pada Ayat (3) ini berfungsi sebagai pengendali. Jadi, apabila kemudian diketahui bahwa perhitungan yang dilakukan oleh WP keliru, barulah fiskus membenarkannya. Namun, dengan aturan daluarsa pajak berjangka 5 tahun, perlu diketahui bahwa perhitungan WP dianggap benar dan sah untuk selamanya apabila dalam jangka waktu 5 tahun tidak ada pemberitahuan kesalahan perhitungan.

Pelaksanaan Self Assessment System 

Self assessment system menyebabkan Wajib Pajak mendapat beban berat karena semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri. Menurut Rahayu (2010), kewajiban wajib pajak dalam self assessment system adalah sebagai berikut:

a. Mendaftarkan Diri ke Kantor Pelayanan Pajak 

Wajib pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan Potensi perpajakan (KP4) yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan wajib pajak, dan dapat melalui e-register (media ekektronik online) untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

b. Menghitung Pajak oleh Wajib Pajak 

Menghitung pajak penghasilan adalah menghitung besarnya pajak terutang yang dilakukan pada setiap akhir tahun pajak, dengan cara mengalikan tarif pajak dengan pengenaan pajaknya. Sedangkan, memperhitungkan adalah mengurangi pajak yang terutang tersebut dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan yang dikenal sebagai kredit pajak (prepayment).

c. Membayar Pajak Dilakukan Sendiri oleh Wajib Pajak 

1. Membayar Pajak 
  • Membayar sendiri pajak yang terutang: angsuran PPh pasal 25 tiap bulan, pelunasan PPh pasal 29 pada akhir tahun. 
  • Melalui pemotongan dan pemungutan pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, 23 dan 26). Pihak lain di sini berupa:pemberi penghasilan, pemberi kerja, dan pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah. 
  • Pemungutan PPN oleh pihak penjual atau oleh pihak yang ditunjuk pemerintah. 
  • Pembayaran pajak-pajak lainnya; PBB, BPHTB, bea materai.
2. Pelaksanaan Pembayaran 
Pajak Pembayaran pajak dapat dilakukan di bank-bank pemerintah maupun swasta dan kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di KPP atau KP4 terdekat, atau dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronik (epayment).

3. Pemotongan dan Pemungutan 
Jenis pemotongan/pemungutan adalah PPh Pasal 21, 22, 23, 26, PPh final pasal 4 (2), PPh Pasal 15, dan PPN dan PPnBM merupakan pajak. Untuk PPh dikreditkan pada akhir tahun, sedangkan PPN dikreditkan pada masa diberlakukannya pemungutan dengan mekanisme pajak keluar dan pajak masukan.

d. Pelaporan Dilakukan oleh Wajib Pajak 

Surat Pemberitahuan (SPT) memiliki fungsi sebagai suatu sarana bagi wajib pajak di dalam melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Selain itu, surat pemberitahuan berfungsi untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak, baik yang dilakukan wajib pajak sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran dari pemotongan atau pemungut tentang pemotongan dan pemungutan pajak yang telah dilakukan.

Hambatan dan Kendala Pelaksanaan Self Assessment System 

Menurut Mardiasmo (2013), terdapat dua hambatan dalam pelaksanaan pemungutan pajak menggunakan Self Assessment System, yaitu:

a. Perlawanan pasif 

Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain: 
  1. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat. 
  2. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat. 
  3. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.

b. Perlawanan aktif 

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain: 
  1. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang. 
  2. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak, dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).
Sedangkan menurut Lisasih (2011), terdapat beberapa kendala dalam pemungutan pajak secara umum baik pajak pusat maupun pajak daerah, yaitu sebagai berikut: 
  1. Berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang sering kali tidak konsisten dengan undang-undangnya. Apabila peraturan pelaksanaan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan aturan hukum pajak tidak konsisten dengan undang-undang tentu akan mengakibatkan kendala yang fatal dalam pemungutan pajak. 
  2. Kurangnya pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional. Pajak daerah dan pajak nasional merupakan sistem perpajakan Indonesia yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijaksanaan perpajakan tersebut dapat memberikan beban yang adil. Sejalan dengan perpajakan nasional, maka pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional. Pembinaan harus dilakukan secara terus menerus terutama mengenai objek dan tarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak daerah saling melengkapi. 
  3. Database yang masih jauh dari standar Internasioal. Kendala lain yang dihadapi aparatur pajak adalah database yang masih jauh dari standar Internasional. Padahal database sangat menentukan untuk menguji kebenaran pembayaran pajak dengan sistem self-assasment. Persepsi masyarakat, bahwa banyak dana yang dikumpulkan oleh pemerintah digunakan secara boros atau korup, juga menimbulkan kendala untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Berbagai pungutan resmi dan tidak resmi, baik di pusat maupun di daerah yang membebani masyarakat juga menimbulkan hambatan untuk menaikkan penerimaan pajak. 
  4. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan membayar pajak bagi penyelenggara negara. Law enforcement merupakan pelaksanaan hukum oleh penjabat yang berwenang dibidang hukum misalnya pelaksanaan hukum oleh polisi, jaksa, hakim dan sebagainya. Tidak kalah penting untuk disoroti pelaksanaan hukum dilingkungan birokrasi khususnya badan pemerintahan di bidang perpajakan dalam melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara negara ternyata belum ada gebrakannya. Seharusnya bila dilakukan tentu membantu dalam mewujudkan good governance dalam bentuk pemerintah yang bersih. 
  5. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat. Dalam pemungutan pajak dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban kenegaraan. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak untuk membayar pajak ke negara mengakibatkan timbulnya perlawanan atau terhadap pajak merupakan kendala dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara.

Daftar Pustaka

  • Waluyo dan Ilyas. 2003. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
  • Mardiasmo. 2013. Perpajakan. Yogyakarta: Andi.
  • Resmi, Siti. 2009. Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat.
  • Markus, Muda. 2005. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Rahayu, Siti Kurnia. 2010. Perpajakan Indonesia: Konsep dan Aspek Formal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
  • Suandy, Erly. 2005. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
  • Gunadi. 2007. Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan. Jakarta: Salemba Empat.
  • Lisasih, Nin Yasmine. 2011. All About Law. ninyasmine.wordpress.com.
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Self Assessment Sistem Perpajakan. Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2020/06/self-assessment-system-perpajakan.html