Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Tunarungu (Pengertian, Jenis, Penyebab, Karakteristik dan Proses Komunikasi)

Tunarungu adalah suatu kondisi atau keadaan dari seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan indera pendengaran sehingga tidak mampu menangkap rangsangan berupa bunyi, suara atau rangsangan lain melalui pendengaran. Sebagai akibat dari terhambatnya perkembangan pendengarannya, sehingga seorang tunarungu juga terhambat kemampuan bicara dan bahasanya, yang mengakibatkan seorang tunarungu akan mengalami kelambatan dan kesulitan dalam hal-hal yang berhubungan dengan komunikasi.

Tunarungu (Pengertian, Jenis, Penyebab,  Karakteristik dan Proses Komunikasi)

Istilah tunarungu berasal dari kata tuna dan rungu, dimana tuna memiliki arti kurang sedangkan rungu artinya pendengaran. Istilah lain yang menyebut mengenai kelainan pendengaran, antara lain adalah tuli, bisu, tunawicara, cacat dengar, kurang dengar atau tunarungu. Seseorang dikatakan tunarungu apabila tidak mampu atau kurang mampu mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa anak tersebut mengalami tunarunguan.

Secara medis ketunarunguan berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan dan non fungsi dari sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran. Sedangkan secara pedagogis, ketunarunguan ialah kekurangan atau kehilangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus. Hal yang perlu diperhatikan akibat dari ketunarunguan ialah hambatan dalam berkomunikasi, sedangkan komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan bahwa anak tunarungu tidak dapat mendengar membuatnya mengalami kesulitan untuk memahami bahasa yang diucapkan oleh orang lain, dank arena tidak dapat mengerti bahasa secara lisan atau oral.

Berikut definisi dan pengertian tunarungu dari beberapa sumber buku: 
  • Menurut Winarsih (2007), tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. 
  • Menurut Suharmini (2009), tunarungu adalah keadaan dari seorang individu yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap berbagai rangsang suara, atau rangsang lain melalui pendengaran.
  • Menurut Sutjihati (2006), tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya. 
  • Menurut Somad dan Hernawati (1995), tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupananya secara kompleks.

Jenis-jenis Tunarungu 

Menurut Melinda (2013), terdapat tiga batasan dalam mengelompokkan tunarungu berdasarkan seberapa jauh seseorang dapat memanfaatkan sisa pendengaran dengan atau tanpa bantuan alat bantu mendengar, yaitu sebagai berikut: 
  1. Kurang dengar, namun masih bisa menggunakannya sebagai sarana/modalitas utama untuk menyimak suara cakapan seseorang dan mengembangkan kemampuan bicara. 
  2. Tuli (Deaf), yaitu mereka yang pendengarannya sudah tidak dapat digunakan sebagai sarana utama guna mengembangkan kemampuan bicara, namun masih dapat difungsikan sebagai suplemen pada penglihatan dan perabaan. 
  3. Tuli total (Totally Deaf), yaitu mereka yang sudah sama sekali tidak memiliki pendengaran sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimak atau mempersepsi dan mengembangkan bicara.

Sedangkan menurut Winarsih (2007), berdasarkan tingkat kemampuan pendengaran yang dinyatakan dalam intensitas suara yang didengar dengan satuan dB (desibel), tunarungu dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu: 
  1. Kelompok I. Kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal. 
  2. Kelompok II. Kehilangan 31-60, moderate hearing losses atau ketunarunguan atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian.
  3. Kelompok III. Kehilangan 61-90 dB, severe hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada. 
  4. Kelompok IV. Kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. 
  5. Kelompok V. Kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.

Masih menurut Winarsih (2007), tunarungu juga dibagi berdasarkan tiga kriteria, yaitu saat terjadinya ketunarunguan, berdasarkan tempat kerusakan pada organ pendengarannya dan berdasar pada taraf penguasaan bahasa.

a. Berdasarkan sifat terjadinya 

  1. Ketunarunguan bawaan, artinya ketika lahir anak sudah mengalami/menyandang tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi. 
  2. Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tunarungu setelah anak lahir diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.

b. Berdasarkan tempat kerusakan 

  1. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut Tuli Konduktif. 
  2. Kerusakan pada telinga bagian dalam, sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara, disebut Tuli Sensoris.

c. Berdasarkan taraf penguasaan bahasa 

  1. Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak menyamakan tanda (signal) tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum membentuk sistem lambang. 
  2. Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli setelah menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami sistem lambang yang berlaku di lingkungan.

Penyebab Tunarungu 

Menurut Somad dan Hernawati (1995), penyebab ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir (prental), ketika lahir (natal) dan sesudah lahir (post natal). Terdapat beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab ketunarunguan, yaitu sebagai berikut:

a. Faktor Internal 

  1. Keturunan dari salah satu kedua orangtuanya yang mengalami ketunarunguan. Banyak kondisi genetik yang berbeda sehingga dapat menyebabkan ketunarunguan. Transmisi yang disebabkan oleh gen yang dominan represif dan berhubungan dengan jenis kelamin. Meskipun sudah menjadi pendapat umum bahwa keturunan merupakan penyebab dari ketunarunguan, namun belum ada kepastian berapa persen ketunarunguan yang disebabkan oleh faktor keturunan. 
  2. Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak Jerman (Rubella). Penyakit Rubella pada masa kandungan tiga bulan pertama akan berpengaruh buruk pada janin. Penelitian melaporkan 199 anak-anak yang ibunya terkena Virus Rubella selagi mengandung selama masa tahun 1964 sampai 1965, 50% dari anak-anak tersebut mengalami kelainan pendengaran. Rubella dari pihak ibu merupakan penyebab yang paling umum yang dikenal sebagai penyebab ketunarunguan. 
  3. Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah Toxaminia, hal ini bisa menyebabkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan janin. Jika hal tersebut menyerang syaraf atau alat-alat pendengaran maka anak tersebut akan terlahir dalam keadaan tunarungu.

b. Faktor Eksternal 

  1. Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran. Misal, anak terserang Harpes Imlex, jika infeksi ini menyerang alat kelamin ibu dapat menular pada saat anak dilahirkan. Demikian pula pada penyakit kelamin yang lain, dapat ditularkan melalui terusan jika virusnya masih dalam keadaan aktif. Penyakit-penyakit yang ditularkan kepada anak yang dilahirkannya dapat menimbulkan infeksi yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat-alat atau syaraf pendengaran. 
  2. Meningitis atau radang selaput otak, dari hasil penelitian para ahli ketunarunguan yang disebabkan karena meningitis yang dilakukkan oleh Vermon (1968) sebanyak 8,1%, Ries (1973) melaporkan 4,9%, sedangkan Trybus (1985) memberikan keterangan sebanyak 7,33%. 
  3. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah) adalah radang pada bagian telinga tengah, sehingga menimbulkan nanah, dan nanah tersebut mengampil dan mengganggu hantaran bunyi. Jika kondisi ini kronis tidak segera diobati, penyakit ini bisa menimbulkan kehilangan pendengaran yang tergolong ringan sampai sedang. Otitis media adalah salah satu penyakit yang sering terjadi pada kanak-kanak sebelum mencapai usia enam tahun. 
  4. Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat-alat pendengaran bagian tengah dan dalam.

Karakteristik Tunarungu 

Menurut Sutjihati (2006), karakteristik anak yang mengalami tunarungu adalah sebagai berikut:

a. Karakteristik fisik 

Cara berjalannya kaku dan sedikit bungkuk, gerakan matanya cepat, agak beringas, gerakan tangan dan kakinya cepat atau lincah, pernafasannya pendek dan agak terganggu.

b. Karakteristik intelegensi 

Secara potensial anak tunarungu tidak berbeda dengan intelegensi anak normal pada umumnya. Namun demikian secara fungsional intelegensi anak tunarungu di bawah anak normal disebabkan oleh kesulitan anak tunarungu dalam memahami bahasa karena terbatasnya pendengaran. Anak-anak tunarungu sulit dapat menangkap pengertian yang abstrak, sebab untuk dapat menangkap pengertian yang abstrak diperlukan pemahaman yang baik akan bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Tidak semua aspek intelegensi anak tunarungu terhambat, yang mengalami hambatan hanya bersifat verbal, misalnya dalam merumuskan pengertian, menarik kesimpulan, dan meramalkan kejadian.

c. Karakteristik emosi 

Emosi anak tunarungu selalu bergolak, di satu pihak karena kemiskinan bahasanya dan di lain pihak karena pengaruh-pengaruh dari luar yang diterimanya. Keterbatasan yang terjadi dalam komunikasi pada anak tunarungu mengakibatkan perasaan terasing dari lingkungannya. Anak tunarungu mampu melihat semua kejadian, akan tetapi tidak mampu untuk memahami dan mengikutinya secara menyeluruh sehingga menimbulkan emosi yang tidak stabil, mudah curiga, dan kurang percaya diri.

d. Karakteristik sosial 

Dalam pergaulan anak tunarungu cenderung memisahkan diri terutama dengan anak normal, hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan untuk melakukan komunikasi secara lisan.

e. Karakteristik bahasa 

Miskin dalam kosakata, sulit dalam mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan, sulit mengartikan kata-kata abstrak, kurang menguasai irama dan gaya bahasa. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang erat antara bahasa dan bicara dengan ketajaman pendengaran, mengingat bahasa dan bicara merupakan hasil proses peniruan sehingga para anak tunarungu sangat terbatas dalam segi bahasa.

Proses Komunikasi Tunarungu 

Menurut Melinda (2013), proses komunikasi yang terjadi pada seseorang yang mengalami tunarungu digambarkan dalam diagram di bawah ini:

Proses Komunikasi Anak Tunarungu

Adapun penjelasan dari diagram proses komunikasi tunarungu di atas adalah sebagai berikut:
  1. Pengirim pesan dan isi pesan atau materi. Pengirim pesan adalah orang yang mempunyai ide untuk disampaikan kepada seseorang dengan harapan dapat dipahami orang yang menerima peran sesuai dengan yang dimaksudkannya. Peran adalah informasi yang akan disampaikan atau diekspresikan oleh pengirim pesan. Materi pesan dapat berupa informasi, ajakan, rencana kerja, pertanyaan dan lain sebagainya. 
  2. Simbol isyarat. Pada tahap ini pengirim pesan membuat kode atau simbol sehingga pesannya dapat dipahami oleh orang lain. Biasanya seseorang manager menyampaikan pesan dalam bentuk kata-kata, gerakan anggota badan. Tujuan penyampaian pesan adalah untuk mengajak, membujuk, mengubah sikap, perilaku atau menunjukan arah tertentu. 
  3. Media/penghubung. Adalah alat untuk menyampaikan pesan seperti; tv, radio, surat kabar, papan pengumuman, telepon dan lainnya. Pemilihan media ini dapat dipengaruhi oleh isi pesan yang akan disampaikan, jumlah penerima pesan, situasi, dsb.
  4. Mengartikan kode/isyarat. Setelah pesan diterima melalui indra (telinga, mata, dan seterusnya) maka si penerima pesan harus dapat mengartikan simbol/kode dari pesan tersebut, sehingga dapat dimengerti.
  5. Penerima pesan. Penerima pesan adalah orang yang dapat memahami pesan dari si pengirim meskipun dalam bentuk kode/isyarat tanpa mengurangi arti pesan yang dimaksud oleh pengirim. 
  6. Balikan. Balikan adalah isyarat atau tanggapan yang berisi kesan dari penerima pesan dalam bentuk verbal maupun non verbal. Tanpa balikan seseorang pengirim pesan tidak akan tahu dampak pesannya terhadap si penerima pesan.

Daftar Pustaka

  • Winarsih, Murni. 2007. Intervensi Dini Bagi Anak Tunarungu dalam Pemerolehan Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Suharmini, Tin. 2009. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kanwa Publisisher.
  • Sutjihati, Somantri. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.
  • Somad, Permanarian dan Hernawati, Tati. 1995. Ortopedagogik Anak Tunarungu. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat.
  • Melinda. 2013. Cara Melatih Bicara Anak Melalui Media Boneka Tangan. Online: blog.melindacare.com.
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Tunarungu (Pengertian, Jenis, Penyebab, Karakteristik dan Proses Komunikasi). Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2020/07/tunarungu.html