Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Al-Wakalah (Pengertian, Landasan Hukum, Rukun, Syarat, Jenis dan Ketentuan)

Wakalah adalah suatu tindakan menyerahkan atau mewakilkan kuasa dirinya (al-muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) untuk melaksanakan sesuatu atau melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup.

Al-Wakalah (Pengertian, Landasan Hukum, Rukun, Syarat, Jenis dan Ketentuan)

Istilah wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil. Al-Wakalah juga berarti perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau pendelegasian (al-tafwidh) sehingga definisi wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak, dimana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama (Antonio, 2008).

Al-wakalah dalam pengertian lain yaitu pelimpahan kekuasaan oleh seseorang yang disebut sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak ke dua dalam melakukan sesuatu berdasarkan kuasa atau wewenang yang di berikan oleh pihak pertama, akan tetapi apabila kuasa itu telah di laksanakan sesuai yang di syaratkan atau yang telah di tentukan maka semua risiko dan tanggung jawab atas perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.

Berikut definisi dan pengertian wakalah dari beberapa sumber buku: 

  • Menurut Karim (2002), wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup. 
  • Menurut Ayub (2009), wakalah adalah menjaga, menahan atau penerapan keahlian atau perbaikan atas nama orang lain, dari sini kata tawkeel diturunkan yang berarti menunjuk seseorang untuk mengambil alih atas suatu hal juga untuk mendelegasikan tugas apapun ke orang lain. 
  • Menurut Anshori (2009), wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya yang tindakan itu tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati, sebab jika dikaitkan dengan tindakan setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat. 
  • Menurut Muhammad (1995), wakalah adalah penyerahan sesuatu oleh seseorang yang mampu dikerjakan sendiri sebagian dari suatu tugas yang bisa diganti, kepada orang lain, agar orang itu mengerjakannya semasa hidupnya.

Landasan Hukum Wakalah 

Islam mensyariatkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusan sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.

Dasar hukum dari wakalah adalah boleh dilakukan dalam ikatan kontrak yang di syariatkan dengan dasar hukum ibadah (diperbolehkan), al-wakalah bisa menjadi sunah, makruh, haram, atau bahkan wajib sesuai dengan niat pemberi kuasa, pekerjaan yang di kuasakan atau faktor lain yang mendasarinya dan mengikutinya.

Adapun landasan hukum wakalah antara lain adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur'an 

Dasar hukum Wakalah dari Al-Quran terdapat dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 19, yaitu:

Dasar Hukum Wakalah - QS. Al-Kahfi - 19

Artinya: "... Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini,...."(Q.S. Al-Khafi: 19).

Selain itu terdapat juga dalam Q.S. An-Nisa ayat 35, yaitu:

Dasar Hukum Wakalah - QS. An-Nisa - 35

Artinya: "... Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan,...."(Q.S. An-Nisa: 35).

Ayat-ayat tersebut menyimpulkan bahwa dalam hal muamalah dapat dilakukan perwakilan dalam bertransaksi, ada solusi yang bisa diambil manakala manusia mengalami kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidak-sanggupan melakukan segala sesuatu secara mandiri, baik melalui perintah maupun kesadaran pribadi dalam rangka tolong menolong, dengan demikian seseorang dapat mengakses atau melakukan transaksi melalui jalan Wakalah.

b. Al-Hadis 

Rasulullah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada sahabatnya, di antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain-lain yang kemudian dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah. Salah satu Hadis yang menjadi landasan wakalah yaitu:

Dasar Hukum Wakalah - HR. Malik No. 678, Kitab Al-Muaththa

Artinya: "Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi SAW, mengutus Abu Rafi’, hamba yang pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu menikahkan Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (Nabi SAW) di Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah)" (HR. Maliki No.678, Kitab al-Muaththa').

c. Ijma Ulama 

Menurut Antonio (2008), para ulama berpendapat dengan ijma atas dibolehkannya wakalah. Mereka mensunahkan wakalah dengan alasan bahwa wakalah termasuk jenis ta'awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa.

Rukun dan Syarat Wakalah 

Menurut jumhur ulama, rukun wakalah ada empat, yaitu 1) Orang yang memberi kuasa (al-Muwakkil), 2) Orang yang diberi kuasa (al-Wakil), 3) Perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil), dan 4) Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul). Adapun penjelasan ke-empat rukun wakalah tersebut adalah sebagai berikut (Suhendi, 2002).

a. Orang yang memberi kuasa (Al-Muwakkil) 

  1. Seseorang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk tasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya. 
  2. Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila.

b. Orang yang diberi kuasa (al-Wakil) 

  1. Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yang diwakilkan. 
  2. Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang di luar batas, kecuali atas kesengajaannya.

c. Objek/perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil) 

  1. Objek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa. 
  2. Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti salat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan. 
  3. Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga objek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar syari'ah Islam.

d. Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul) 

  1. Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, dari mulai aturan memulai akad Wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad Wakalah ini.
  2. Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa. 
  3. Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

Adapun syarat-syarat wakalah adalah sebagai berikut: 

  1. Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. Oleh karena itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan ibadah seperti salat, puasa, dan membaca alquran. 
  2. Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena itu, tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya. 
  3. Pekerjaannya itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu yang masih samar seperti "aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawini salah satu anakku"
  4. Shigat, hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti mewakilkan yang diiringi kerelaan dari muwakkil seperti "saya wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada kamu untuk mengerjakan pekerjaan ini" kemudian diterima oleh wakil. Dalam shigat qabul si wakil tidak syaratkan artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan qabul tetap dianggap sah.

Jenis-jenis Wakalah 

Menurut Ayub (2009), terdapat tiga jenis wakalah, yaitu sebagai berikut: 

  1. Al-wakalah al-khosshoh, adalah prosesi pendelegasian wewenang untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik. Dan spesifikasinyapun telah jelas, seperti halnya membeli Honda tipe X atau menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.
  2. Al-wakalah al-ammah, adalah prosesi pendelegasian wewenang bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi. Seperti belikanlah aku mobil apa saja yang kamu temui. 
  3. Al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh, adalah akad dimana wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya juallah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika kredit. Sedangkan al-wakalah al-muthlaqoh adalah akad wakalah dimana wewenang dan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu, misalnya juallah mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.

Ketentuan Berakhirnya Wakalah 

Wakalah bukanlah akad yang berlaku abadi, tetapi bisa menjadi batal atau dibatalkan. Menurut Dewan Syariah Nasional (2006), terdapat beberapa hal yang menyebabkan wakalah menjadi batal dan berakhir, yaitu sebagai berikut: 

  1. Ketika salah satu pihak yang berwakalah itu wafat atau gila. 
  2. Apabila maksud yang terkandung dalam wakalah itu sudah selesai pelaksanaannya atau dihentikan maksud dari pekerjaan tersebut. 
  3. Diputuskannya wakalah tersebut oleh salah satu pihak yang menerima kuasa dan berakhir karena hilangnya kekuasaannya atau hak pemberi kuasa atas sesuatu obyek yang dikuasakan. 
  4. Dihentikannya aktivitas/pekerjaan dimaksud oleh kedua belah pihak. 
  5. Pembatalan akad oleh pemberi kuasa terhadap penerima kuasa, yang diketahui oleh penerima kuasa. 
  6. Penerima kuasa mengundurkan diri dengan sepengetahuan pemberi kuasa. 
  7. Gugurnya hak pemilikan atas barang bagi pemberi kuasa.

Daftar Pustaka

  • Antonio, Muhammad Syafi’i. 2008. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
  • Karim, Helmi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 
  • Ayub, Muhammad. 2009. Understanding Islamic Finance. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Anshori, Abdul Ghofur. 2009. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  • Muhammad, Abu Bakar. 1995. Fiqh Islam. Surabaya: Karya Abbditama.
  • Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Dewan Syariah Nasional. 2006. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Jakarta: Gaung Persada.
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Al-Wakalah (Pengertian, Landasan Hukum, Rukun, Syarat, Jenis dan Ketentuan). Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2020/10/al-wakalah.html