Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kafalah (Pengertian, Landasan Hukum, Jenis, Bentuk dan Mekanisme)

Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban dari pihak kedua atau yang ditanggung (makful anhu) terkait tuntutan yang berhubungan dengan jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan apabila pihak yang ditanggung cedera janji atau wanprestasi dimana pemberi jaminan bertanggung-jawab atas pembayaran kembali suatu hutang menjadi hak penerima jaminan.

Kafalah (Pengertian, Landasan Hukum, Jenis, Bentuk dan Mekanisme)

Istilah Al-kafalah berasal dari bahasa Arab, yang berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan za’amah (tanggungan). Secara terminologi muamalah, pengertian al-kafalah adalah mengumpulkan tanggung jawab penjamin dengan tanggung jawab yang dijamin dalam masalah hak atau hutang sehingga hak atau utang itu menjadi tanggung jawab penjamin. Sedangkan dalam teknis perbankan kafalah adalah pemberian jaminan kepada nasabah atas usahanya untuk melakukan kerja sama dengan pihak lain.

Pengertian kafalah berdasarkan ulama Malikiyah, Syafi iyah dan Hanabilah adalah mengumpulkan penjamin ke dalam tanggungan orang yang di jamin (yang berhutang) dalam ketetapan atau kewajiban yang hak dalam masalah hutang, artinya hutang itu menjadi tetap atas tanggungan mereka berdua. Perbedaan definisi hanya terletak pada obyek tanggung jawabnya. Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa obyek kafalah tidak hanya berupa harta, melainkan juga jiwa, materi dan pekerjaan. Sementara ulama Mazhab yang lain menyatakan bahwa obyek kafalah berkaitan dengan harta, seperti hutang piutang (Dahlan, dkk, 2003).

Berikut definisi dan pengertian kafalah dari beberapa sumber buku: 

  • Menurut Djuwaini (2008), kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga yang memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain kafalah artinya mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
  • Menurut Sabiq (2009), kafalah adalah suatu tindak penggabungan tanggungan orang yang menanggung dengan tanggungan penanggung utama terkait tuntutan yang berhubungan dengan jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan. 
  • Menurut Antonio (1999), kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Sedangkan menurut Bank Indonesia, kafalah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu hutang menjadi hak penerima jaminan.
  • Menurut Tim Pengembangan Perbankan Syariah (2001), kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban dari pihak yang ditanggung (makful anhu) apabila pihak yang ditanggung cedera janji atau wanprestasi.

Landasan Hukum Kafalah 

Kafalah merupakan salah satu bentuk ikatan antar sesama umat manusia telah disyariatkan baik dalam Al-Quran, Al-hadist, dan ijma ulama.

a. Al-Quran

Penjelasan Al-kafalah atau jaminan di dalam al-Qur'an terdapat pada surat Yusuf ayat 72, yaitu:

Landasan Hukum Kafalah - QS. Yusuf ayat 72

Artinya: "Dan barang siapa yang dapat mengembalikannya piala raja, maka ia akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta, dan aku yang menjamin terhadapnya". (QS. Yusuf: 72)

b. Al-Hadist 

Transaksi kafalah (penjaminan) telah terjadi semenjak masa Rasulullah SAW. Salah satu hadist Nabi yang berkaitan dengan kafalah seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yaitu:

Landasan Hukum Kafalah - HR. Ibnu Majah

Artinya: "Penjamin adalah orang yang berkewajiban harus membayar dan hutang juga harus dibayar". (HR. Ibnu Majah)

c. Ijma Ulama 

Mengenai kafalah para ulama berijma membolehkannya. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah mempraktikkan hal ini, bahkan sampai saat ini tanpa adanya teguran dari seseorang ulama-pun. Ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar pembolehan kafalah adalah berupa Kaidah Fiqih yang berbunyi “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan dan bahaya (beban berat) harus dihilangkan".

Sebagai landasan hukum, Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa tentang kafalah dan menetapkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 11/DSN-MUI/ IV/2000 tentang kafalah yang ditetapkan tanggal 08 Muharram 1421 H atau tanggal 13 April 2000. Fatwa ini menetapkan bahwa pemberian jasa kafalah dilakukan dengan prosedur masing-masing bank syariah yang memberikan, dengan mengacu pada ketentuan umum bank garansi yang telah ditetapkan Bank Indonesia dan rukun kafalah yang telah ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

Rukun dan Syarat Kafalah 

a. Rukun Kafalah 

Menurut Suhendi (2002), rukun kafalah adalah sighat kafalah (ijab qabul), makful bih (objek tanggungan), kafil (penjamin), makful'anhu (tertanggung), dan makful lahu (penerima hak tanggungan). Adapun penjelasan atas rukun kafalah tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Sighat kafalah (ijab qabul). Sighat atau ijab qabul bisa diekspresikan dengan ungkapan yang menyatakan adanya kesanggupan untuk menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk menunaikan kewajiban. Seperti ungkapan "aku akan menjadi penjagamu" atau "saya akan menjadi penjamin atas kewajibanmu atas seseorang" atau ungkapan lain yang sejenis. Ulama tidak mensyaratkan kalimat verbal yang harus diungkapkan dalam akad kafalah, semuanya dikembalikan pada akad kebiasaan. Intinya, ungkapan tersebut menyatakan kesanggupan untuk menjamin sebuah kewajiban.
  2. Makful Bihi (objek tanggungan). Objek pertanggungan harus bersifat mengikat terhadap diri tertanggung, dan tidak bias dibatalkan tanpa adanya sebab syar'i. Selain itu objek tersebut harus merupakan tanggung jawab penuh pihak tertanggung. Seperti menjamin harga atas pihak transaksi barang sebelum serah terima, menanggung beban hutang yang bersifat mengikat terhadap diri seseorang. Selain itu, nominal objek tertanggung harus jelas, tidak diperbolehkan menanggung sesuatu yang tidak jelas (majhul).
  3. Kafil (penjamin). Ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil haruslah orang yang berjiwa filantropi, orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain. Selain itu, ia juga orang yang baligh dan berakal. Akad kafalah tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih ataupun orang yang terhalang untuk melakukan transaksi. Karena bersifat charity, akad kafalah harus dilakukan oleh seorang kafil dengan penuh kebebasan, tanpa adanya paksaan. Ia memiliki kebebasan penuh guna menjalankan pertanggungan. Karena dalam akad ini, kafil tidak memiliki hak untuk merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.
  4. Makful'Anhu (tertanggung). Syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung (makful'anhu) adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan, baik dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yang mewakilinya. Selain itu makful'anhu harus dikenal baik oleh pihak kafil.
  5. Makful lahu (penerima hak tanggungan). Ulama mensyaratkan makful lahu harus dikenali oleh kafil, guna meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah untuk memenuhinya. Selain itu, ia juga disyaratkan untuk menghadiri majlis akad. Ia adalah orang yang baligh dan berakal, tidak boleh orang gila atau anak kecil yang belum berakal.

b. Syarat Kafalah 

Kafalah sebagai suatu jasa penjaminan merupakan salah satu bentuk perikatan dalam Islam. Menurut Sabiq (2009), syarat sahnya suatu perikatan adalah sebagai berikut: 

  1. Tindak hukum syariah yang disepakati. Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bertentangan dengan hukum syariah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syariah adalah tidak sah. Maka dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menepati atau melaksanakan perjanjian tersebut. Dengan kata lain segala bentuk perjanjian yang bertentangan dengan hukum syariah dengan sendirinya batal demi hukum. 
  2. Harus sama rida dan ada pilihan. Maksudnya perjanjian yang diadakan para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak rida atau rela akan isi perjanjian tersebut atau dengan kata lain isi perjanjian tersebut adalah kehendak para pihak. Dalam hal ini tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Apabila perjanjian terdapat unsur pemaksaan, maka dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak mempunyai kekuatan hukum. 
  3. Harus jelas dan gamblang. Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang mereka perjanjikan di kemudian hari. Dengan demikian maka pada saat perjanjian dibuat maka masing-masing pihak harus mempunyai interpretasi yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan baik terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian itu.

Jenis-jenis Kafalah 

Menurut Antonio (2001), kafalah dibagi dalam lima jenis, yaitu sebagai berikut: 

  1. Kafalah bin-Nafs. Merupakan akad memberikan jaminan atas diri (personal quarantee). Sebagai contoh, dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafis adalah seseorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan. 
  2. Kafalah bil-Maal. Merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk kafalah ini merupakan medan yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan fee tertentu.
  3. Kafalah bit-Taslim. Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa, pada waktu masa sewa berakhir. Jenis jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposit/ tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu. 
  4. Kafalah al-Munajazah. Merupakan jaminan mutlak yang tidak dapat dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan/tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munajazah adalah pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds (jaminan prestasi), suatu hal yang lazim di kalangan perbankan dan hal sesuai dengan bentuk akad ini. 
  5. Kafalah al-Muallaqah. Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munajazah, baik boleh industri perbankan maupun asuransi, dimana jaminan dibatasi oleh kurun waktu dan tujuan-tujuan tertentu.

Bentuk Perjanjian Kafalah 

Menurut Sabiq (2009), kafalah boleh terjadi dengan tanjiz, ta'liq, dan tauqit. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

  1. Dengan cara tanjiz (melaksanakan). Perjanjian pertanggungan utang (kafalah) dengan cara tanjiz ini, yaitu dengan adanya pernyataan dari pihak penanggung (kafil), seperti: aku jamin si A sekarang, aku menjamin, aku tanggung jawab, aku talangi atau aku sebagai penanggung untukmu. Kafalah dengan cara tanjiz ini sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan semenjak itu kafil mengikat diri kepada utang si berhutang baik dalam penyelesaian, penundaan pembayaran maupun pembayaran pengkreditannya.
  2. Dengan cara ta'liq (menggantungkan). Perjanjian pertanggungan utang dengan cara ta'liq ini, adalah penanggungan oleh seseorang kepada orang tertentu yang disyaratkan atau digantungkan kepada sesuatu hal tertentu pula. Seperti: jika engkau memberi kepercayaan kepada si A untuk memimpin usaha itu maka aku menjadi penjamin untuknya.
  3. Dengan cara tauqit. Perjanjian pertanggungan utang dengan cara tauqit ini adalah pertanggungan yang didasarkan kepada suatu waktu tertentu. Seperti: jika bulan Ramadan telah datang, maka aku akan menjadi penjamin untukmu, jika telah lewat dua tahun maka akan menjadi penjaminmu.

Mekanisme Kafalah 

Skema aplikasi kafalah dalam perbankan syariah dapat digambarkan di bawah ini:

Mekanisme Kafalah

Secara umum, aplikasi al-kafalah dalam perbankan syariah dapat dijelaskan sebagai berikut : 

  1. Bank sebagai lembaga keuangan menjamin pihak yang ditanggung (nasabah), dengan menyerahkan jaminan (Garansi Bank) kepada tertanggung (pihak ketiga/pemilik proyek) apabila di kemudian hari nasabah melakukan cedera (ingkar) janji/ wanprestasi. 
  2. Nasabah (pihak yang ditanggung) memiliki kewajiban kepada pemilik proyek untuk menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja yang disepakati antara pihak yang ditanggung/pihak pelaksana kerja dengan pihak tertanggung/ pihak pemberi kerja.

Peranan kafalah pada dasarnya adalah untuk meningkatkan hubungan muamalah sesama umat muslim pada khususnya dan umat manusia pada umumnya yang di dalamnya terkandung unsur tolong menolong. Memberikan penjaminan merupakan salah satu bentuk tolong menolong. Kafalah berfungsi untuk memperlancar transaksi atau kerja sama bagi pihak-pihak yang akan melakukan suatu transaksi maupun kerja sama yang bernilai besar dan mengandung risiko. Selain itu peranan kafalah adalah untuk meningkatkan produktivitas perbankan dan produktivitas pengusaha.

Menurut Tim Pengembangan Perbankan Syariah (2001), kafalah mendukung transaksi bisnis yang dilakukan oleh pihak-pihak pelaksana transaksi, karena dapat menimbulkan dan memberikan rasa aman dan kondusif bagi kelangsungan bisnis. Secara khusus kafalah memiliki peran antara lain sebagai berikut: 

  1. Bagi pihak yang dijamin selaku nasabah bank. Artinya bahwa dengan diberikannya kafalah oleh bank, maka nasabah bisa mendapatkan atau mengerjakan proyek dari pihak ketiga, karena biasanya pemilik proyek menentukan syarat-syarat tertentu dalam mengerjakan proyek yang mereka miliki. 
  2. Pihak terjamin (pemillik proyek) biasa disebut sebagai pihak ketiga. Artinya bahwa dengan adanya kafalah yang diberikan oleh bank maka pemilik proyek akan mendapat suatu jaminan bahwa proyeknya yang akan dikerjakan oleh si nasabah bank tadi akan diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Karena kafalah merupakan pengambilalihan risiko oleh bank apabila nasabah cedera janji dalam melaksanakan kewajibannya. 
  3. Pihak yang menjamin hal ini adalah pihak bank. Artinya bahwa dengan adanya kafalah yang diterbitkan oleh bank maka pihak bank akan memperoleh fee atau imbalan yang diperhitungkan dari nilai risiko yang ditanggung oleh bank atas kafalah yang telah diberikan, selain itu juga penjamin akan memperoleh pahala karena melakukan penjaminan bagi orang lain Karena penjaminan ini merupakan suatu sifat kebajikan.

Daftar Pustaka

  • Djuwaini, Dimyaudin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh Sunah. Jakarta: Cakrawala Publising.
  • Dahlan, Abdul Aziz, dkk. 2003. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru.
  • Antonio, Muhammad Syafi'i. 1999. Bank Syariha: Wacana Ulama & Cendekiawan. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI.  
  • Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia. 2001. Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta: Djambatan.
  • Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Islamic Banking Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Kafalah (Pengertian, Landasan Hukum, Jenis, Bentuk dan Mekanisme). Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2020/10/kafalah-pengertian-landasan-hukum-jenis.html