Memaafkan / Forgiveness (Pengertian, Aspek, Jenis, Tahapan dan Faktor yang Mempengaruhi)
Forgiveness (meminta maaf atau memaafkan) adalah usaha, tindakan atau kesediaan untuk menghilangkan atau menurunkan penilaian, perasaan atau perilaku negatif terhadap peristiwa dan akibat yang ditimbulkan dari tindakan atau pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang dengan menunjukkan rasa kasihan, perdamaian dan cinta.
Forgiveness merupakan proses yang terjadi di dalam diri seseorang dimana orang yang telah disakiti mampu melepaskan dirinya dari rasa marah, benci dan takut yang dirasakan dan tidak ingin balas dendam. Forgiveness ditandai dengan individu tidak lagi melakukan penghindaran dan menjaga jarak, tidak memiliki emosi negatif dan tidak memiliki keinginan untuk membalas dendam, serta memunculnya keinginan untuk berbuat baik dan berdamai pada orang yang pernah melakukan tindakan yang menyakitkan.
Berikut definisi dan pengertian forgiveness atau memaafkan dari beberapa sumber buku:
- Menurut McCullough, Worthington dan Rachal (1997), forgiveness adalah serangkaian perubahan motivasi seseorang untuk menurunkan motivasi membalas dendam, motivasi untuk menjauhkan diri atau menghindari orang yang menyakiti serta meningkatnya motivasi untuk berbuat baik dan berdamai pada orang yang sudah melakukan tindakan yang menyakitkan.
- Menurut McCullough, Fincham dan Tsang (2003), forgiveness adalah usaha untuk mengatasi dampak negatif dan penghakiman terhadap orang yang menyakiti, dengan tidak menghindari rasa sakit itu namun dengan menunjukkan rasa kasihan, perdamaian dan cinta.
- Menurut Wade dan Worthington (2005), forgiveness adalah tindakan untuk mengatasi perasaan negatif, kognisi negatif, dan perilaku negatif saat terjadi ketidak-adilan pada dirinya, mungkin juga melibarkan respon positif pada orang yang menyakiti.
- Menurut Thompson (2005), forgiveness adalah upaya untuk menempatkan peristiwa pelanggaran yang dirasakan sedemikian rupa hingga respon seseorang terhadap pelaku, peristiwa, dan akibat dari pelanggaran tersebut diubah dari negatif menjadi netral atau positif.
- Menurut Setyana (2013), forgiveness adalah kemampuan seseorang untuk menurunkan atau menghilangkan perasaan dan penilaian negatif terhadap sesuatu yang telah menyakitinya sehingga merubah respon seseorang terhadap pelaku, peristiwa, dan akibat dari peristiwa tersebut diubah dari negatif menjadi netral atau positif, serta membuat seseorang menjadi lebih nyaman berada di lingkungannya.
- Menurut Nashori (2014), forgiveness adalah kesediaan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak menyenangkan yang bersumber dari hubungan inter-personal dengan orang lain dan menumbuh-kembangkan pikiran, perasaan, dan hubungan inter-personal yang positif dengan orang lain yang melakukan pelanggaran secara tidak adil.
Aspek-aspek Forgiveness
Menurut Lopez dan Snyder (2003), perilaku memaafkan atau forgiveness terdiri dari tiga aspek motivasi, yaitu:
- Avoidance motivations. Penurunan motivasi untuk menghindari kontak pribadi dan psikologis dengan pelaku. Korban akan membuang keinginannya untuk menjaga jarak dengan orang yang telah menyakitinya (pelaku). Jadi, korban tidak menghindar ataupun menjauhi si pelaku, dia akan tetap berusaha menjaga hubungan yang dekat tersebut.
- Revenge motivations. Penurunan motivasi untuk membalas dendam atau melihat-lihat bahaya datang kepada pelanggar. Artinya, korban akan membuang keinginannya untuk membalas perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku. Korban akan berusaha meminimalisir rasa marah untuk membalas dendam kepada pelaku yang telah menyakitinya.
- Beneviolence motivations. Peningkatan motivasi untuk berbuat kebajikan dengan pelaku. Walaupun subjek merasa menjadi korban, akan tetapi subjek tetap ingin berbuat kebajikan kepada pelaku. Jadi subjek dalam situasi ini akan tetap menjaga hubungan agar tetap baik dengan pelaku.
Sedangkan menurut Zechmeister dan Romero (2002), aspek-aspek perilaku memaafkan atau forgiveness adalah sebagai berikut:
- Aspek kognitif. Merupakan respon kognitif individu yang secara sadar dilakukan saat individu mampu menggantikan legitimasinya terhadap orang lain dan menggantikannya dengan respon yang mengarah pada konsiliasi. Perilaku memaafkan diberikan secara total dan tidak mengharapkan balasan.
- Aspek Afektif. Merupakan respon emosi yang dimunculkan oleh seseorang dalam mengembangkan perilaku memaafkan. Respon emosi ini dalam bentuk empati atas hal yang dirasakan oleh individu tersebut.
- Aspek Perilaku. Merupakan respon perilaku yang dimunculkan oleh individu untuk memberikan maaf kepada orang lain. Membicarakan jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi yang memungkinkan timbulnya tindakan perilaku memaafkan merupakan proses untuk mengembangkan perilaku memaafkan.
Jenis-jenis Forgiveness
Menurut Baumeister, Exline, dan Somer (1998), bentuk-bentuk tindakan memaafkan atau forgiveness dibagi menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut:
a. Hollow forgiveness
Memaafkan bentuk ini terjadi saat pihak yang tersakiti dapat mengekspresikan forgiveness secara konkret melalui perilaku namun pihak yang tersakiti belum dapat merasakan dan menghayati adanya forgiveness di dalam dirinya. Pihak yang tersakiti masih menyimpan rasa dendam dan kebencian meskipun ia telah mengatakan pada pihak yang menyakiti bahwa ia telah memaafkan.
b. Silent forgiveness
Memaafkan bentuk ini terjadi saat intrapsychic forgiveness dirasakan namun tidak diekspresikan melalui perbuatan dalam hubungan interpersonal. Pihak yang tersakiti tidak lagi menyimpan perasaan marah, dendam, benci kepada pihak yang menyakiti namun tidak mengekspresikannya. Pihak yang tersakiti membiarkan pihak yang menyakiti terus merasa bersalah dan terus bertindak seakan-akan tetap bersalah.
c. Total forgiveness
Pada memaafkan bentuk ini pihak yang tersakiti menghilangkan perasaan kecewa, benci atau marah terhadap pihak yang menyakiti tentang kesalahannya, kemudian hubungan antara pihak yang disakiti dengan orang yang menyakiti pulih secara total seperti sebelum keadaan sebelum peristiwa yang menyakitkan terjadi.
d. No forgiveness
Pada kondisi ini, forgiveness tidak terjadi pada pihak yang tersakiti. Keadaan ini terjadi karena pihak yang tersakiti telah salah persepsi mengenai forgiveness, berikut adalah kesalahan persepsi yang menjadi faktor penyebab terjadinya No forgiveness pada diri seseorang:
- Claims on reward benefit, pihak yang tersakiti merasa bahwa dirinya berhak atas reward atau keuntungan sebelum ia harus memaafkan. Karena ia beranggapan bahwa pihak yang menyakiti telah memiliki hutang yang harus dibayar karena telah menyakiti dirinya.
- To prevent reccurence, forgiveness dianggap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya peristiwa menyakitkan yang dialami pihak yang tersakiti di masa mendatang. Tidak diberikannya forgiveness kepada pihak yang menyakiti, maka pihak yang tersakiti dapat terus meningkatkan pelaku yang menyakiti untuk tidak mengulangi perbuatannya.
- Continued suffering, pihak tersakiti terus menerus merasa menderita karena peristiwa menyakitkan yang dialami oleh pihak yang tersakiti dimasa lalu memengaruhi hubungannya dengan pihak yang menyakiti dimasa depan, maka forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan.
- Pride and revenge, pihak yang tersakiti merasa bahwa dengan memberikan maaf kepada pihak yang menyakiti maka ia telah melakukan perbuatan yang mempermalukan dirinya bahkan menunjukkan rendahnya harga diri pihak yang tersakiti.
- Principal refusal, pihak yang tersakiti menilai forgiveness sebagai pembebasan terhadap pelaku dari peradilan. Pihak yang tersakiti takut tidak dapat mendapat perlindungan hukum jika ia sudah memaafkan orang yang menyakiti.
Tahapan Forgiveness
Menurut Orcutt, Pickett dan Pope (2005), terdapat beberapa proses atau tahapan pada perilaku memaafkan atau forgiveness pada diri seseorang, yaitu sebagai berikut:
a. Uncovering phase
Proses forgiveness melibatkan rasa disakiti secara tidak adil pada individu yang dipenuhi dengan pengalaman emosi negatif dan rasa sakit yang diasosiasikan dengan luka. Emosi negatif (unforgiveness) harus dikonfrontasikan dan secara mendalam dipahami sebelum proses penyembuhan dimulai. Adapun hal-hal yang terjadi pada tahap ini adalah:
- Pemeriksaan mekanisme pertahanan psikologis.
- Mengkonfrontasikan kemarahan bukan menyembunyikan kemarahan.
- Mengakui adanya rasa malu.
- Korban menyadari tentang banyaknya energi yang dikeluarkan akibat dari peristiwa menyakitkan itu.
- Menyadari adanya pemikiran yang berulang-ulang terhadap kejadian yang menyakitkan.
- Muncul pemikiran bahwa korban dapat membandingkan dirinya dengan pelaku.
- Merealisasikan bahwa korban mengalami perubahan yang menetap oleh karena kejadian yang menyakitkan.
- Korban menyadari bahwa pandangannya tentang keadilan telah berubah.
b. Decision phase
Individu menyadari bahwa memfokuskan diri secara terus menerus pada luka dan pelaku hanya dapat menghasilkan penderitaan yang berlanjut. Kemungkinan memaafkan dilakukan sebagai strategi untuk penyembuhan dan individu membuat komitmen untuk memaafkan pelaku. Berdasarkan komitmen ini, kerja forgiveness diawali dan pada fase ini pikiran, perasaan dan perhatian untuk membalas dendam terhadap pelaku dilepaskan. Adapun hal-hal yang terjadi pada tahap ini adalah:
- Perubahan hati, pemahaman baru bahwa strategi solusi lama tidak dapat membawa hasil yang diharapkan.
- Keinginan mempertimbangkan forgiveness sebagai suatu pilihan.
- Komitmen untuk memaafkan pelaku.
c. Work phase
Tahapan forgiveness sering-kali melibatkan perubahan persepsi terhadap pelaku, mungkin dengan menempatkan kejadian dalam konteks kehidupan pelaku, dalam suatu usaha yang bukan atas alasan tanggung jawab pelaku tapi lebih kepada menerima pelaku sebagai anggota komunitas manusia. Orang yang disakiti memilih untuk menawarkan beberapa bentuk perbuatan baik (pribadi dan/atau umum) terhadap pelaku. Adapun hal-hal yang terjadi pada tahap ini adalah:
- Penyusunan kembali, pemaknaan kembali terhadap peristiwa menyakitkan yang dialami melalui pengambilan peran pelaku dengan memandang konteksnya.
- Empati terhadap pelaku.
- Kesadaran bahwa forgiveness membutuhkan penerimaan terhadap luka yang dialami.
- Forgiveness diberikan sebagai suatu hadiah moral bagi pelaku.
d. Outcome/Deepening phase
Memaafkan individu menjadikan seseorang sadar akan keuntungan emosional positif yang akan diterimanya dari proses forgiveness. Secara umum, individu menemukan makna dalam penyembuhan yang dialaminya sehingga pada fase terakhir ini individu mengalami paradox of forgiveness, sebagai salah satu sikap terhadap rasa sakit yang tidak adil dan memberikan kemurahan hati pada orang lain, orang yang telah disembuhkan. Adapun hal-hal yang terjadi pada tahap ini adalah:
- Menemukan makna bagi diri sendiri dan orang lain dalam penderitaan dan selama proses forgiveness.
- Menyatakan bahwa diri sendiri membutuhkan forgiveness dari orang lain pada masa lalu.
- Muncul pemikiran bahwa korban merasa dirinya tidak sendirian (universal dan dukungan).
- Memperoleh tujuan baru dalam hidup dikarenakan oleh penderitaannya.
- Kesadaran bahwa perasaan negatif yang dimiliki digantikan dengan perasaan positif, perasaan positif tersebut membebaskan, menguntungkan bagi korban.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Forgiveness
Menurut McCullough dkk (1997), terdapat beberapa faktor yang dianggap sebagai penentu sikap memaafkan atau atau forgiveness pada seseorang, yaitu:
a. Social cognitive determinant
Determinan sosial kognitif meliputi afektif empati terhadap orang lain yang difasilitasi oleh adanya penilaian tanggung jawab dan kemungkinan untuk menyalahkan orang lain maupun penilaian terhadap kesungguhan. Atribusi yang diberikan kepada orang lain merupakan salah satu faktor dari empati maupun perilaku memaafkan. Determinan lainnya adalah adanya pemikiran pribadi, image, dan afeksi yang terkait dengan perselisihan inter-personal yang dapat menyebabkan individu melakukan balas dendam maupun melakukan penolakan.
b. Offense related determinant
Determinan ini timbul apabila individu mempersepsi bahwa hal yang dirasakan oleh individu atas pertikaian yang terjadi memberikan penderitaan bagi dirinya, maka akan lebih sulit kemungkinan baginya untuk dapat memaafkan.
c. Relational determinant
Faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku memaafkan adalah sejauh mana kedekatan yang dimiliki oleh seseorang terhadap pihak yang bertikai dengannya. Hal ini banyak dipengaruhi oleh keterkaitan antara perilaku memaafkan dengan motivasi untuk berhubungan inter-personal dengan orang lain.
d. Personality determinant
Determinan kepribadian yang berpengaruh antara lain pemahaman seseorang akan konsep memaafkan, sikap seseorang terhadap upaya balas dendam, respon yang dimunculkan saat merasa marah, norma religiusitas sebagai alat untuk meredam perilaku yang mengarah pada pertikaian.
Daftar Pustaka
- McCullough, M.E., dkk. 1997. Interpersonal Forgiving Inclose Relationships. Journal of Personality and Social Psychology.
- McCullough, M.E., dkk. 2003. Forgiveness, For bearance and Time: The Temporal Unfolding of Transgression-Relate Dinterpersonal Motivations. Journal Of Personality And Social Psychology.
- Wade, N.G., & Worthington, E.L. 2005. In Search of A Common Core: A Content Analysis of Interventions To Promote Forgiveness. Educational Publishing Foundation, Vol.42.
- Thompson, L.Y., dkk. 2005. Dispositional Forgiveness of Self, Others and Situations. Journal of Personality.
- Setiyana, V.Y. 2013. Forgiveness dan Stres Kerja terhadap Perawat. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapaan Universitas Muhammadiyah, Vol.01, No.2.
- Nashori, F. 2014. Psikologi Pemaafan. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
- Snyder, C.R & Lopez, S.J. 2003. Positive Psychological Assessment: A Handbook of Models and Measures. American Psychological Association.
- Zechmeister, J.S., dan Romero, C. 2002. Victim and Offender Accounts of Interpersonal Conflict: Autobiographical Narratives of Forgiveness and Unforgiveness. Journal of Personality and Social Psychology.
- Baumeister, R.F., dkk. 1998. The Victim Role, Grudge Theory, and Two Dimensions of Forgiveness. Philadephia: The Templeton Fondation Press.
- Orcutt, H.K., dkk. 2005. Experiential Avoidance and Forgiveness as Mediators in the Relation Between Traumatic Interpersonal Events and Posttraumatic Stress Disorder Symptoms. Journal of Social and Clinical Psychology, Vol.24.