Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Psychological Well-Being

Psychological Well-Being adalah kemampuan individu untuk bersikap positif baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, dapat menerima dan mengatur tingkah laku diri, bisa mengontrol tekanan lingkungan sosial di sekitar, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup lebih bermakna. Orang-orang dengan psychological well-being yang tinggi memiliki perasaan senang, mampu, mendapat dukungan dan puas dengan kehidupannya.

Psychological Well-Being

Psychological well-being merupakan suatu keadaan dimana seseorang berusaha untuk berpikir positif tentang diri mereka sendiri meskipun mereka sadar akan keterbatasan-keterbatasan dirinya, sehingga mereka tetap berusaha untuk mengembangkan dan mempererat hubungan positif dengan orang lain, serta mampu membentuk sebuah lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadi.

Psychological well-being dapat diartikan sebagai kepuasan hidup, keadaan sehat secara mental dan kebahagiaan. Beberapa faktor yang mempengaruhi Psychological well-being antara lain adalah demografi, kepribadian, dukungan sosial, dan evaluasi terhadap pengalaman hidup. Psychological well-being menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri.

Pengertian Psychological Well-Being 

Berikut definisi dan pengertian Psychological Well-Being atau kesejahteraan psikologis dari beberapa sumber buku: 

  • Menurut Ryff (1989), Psychological Well-Being adalah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup, dan membuat hidup mereka lebih bermakna serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan diri. 
  • Menurut Daniella (2012), Psychological Well-Being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri terhadap tekanan sosial, mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup, serta merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu. 
  • Menurut Lakoy (2009), Psychological Well-Being adalah kondisi tertinggi yang dapat dicapai oleh individu yang mencakup evaluasi dan penerimaan diri pada berbagai aspek kehidupan tidak hanya berupa aspek positif namun juga aspek negatif yang terbagi dalam enam dimensi, yaitu: dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi otonomi, dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan dimensi pengembangan pribadi. 
  • Menurut Suresh, dkk (2013), Psychological Well-Being adalah individu yang mampu merasakan dapat berfungsi secara baik dan efektif individu yang mempunyai perasaan yang baik berarti menghadirkan emosi positif seperti kepuasan dan kebahagiaan, rasa percaya diri dan minat. Sedangkan mampu berfungsi secara efektif mencakup berbagai hal seperti memiliki rasa kontrol atas kehidupan seseorang, dapat mengeksploitasi potensi yang dimilikinya, memiliki rasa tujuan dalam hidup dan mempunyai hubungan positif dengan orang lain.

Dimensi Psychological Well-Being

Menurut Ryff (1989), dimensi-dimensi Psychological Well-Being ada enam, yaitu sebagai berikut: 

a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance) 

Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan seseorang menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa lalunya. Seseorang yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya.

Ciri-ciri penerimaan diri dengan skor tinggi ke rendah adalah: 

  • Penerimaan diri dengan skor tinggi: memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima dan banyak aspek diri, termasuk kualitas baik dan buruk, merasa positif mengenai kehidupan masa lalu.
  • Penerimaan diri dengan skor rendah: merasa tidak puas dengan diri, kecewa dengan apa yang sudah terjadi dalam kehidupan masa lalu, bermasalah dengan kualitas pribadi tertentu, berhadap ingin berbeda (dari) diri yang sekarang.

b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relationship With Others) 

Hubungan positif dengan orang lain merupakan tingkat kemampuan dalam berhubungan hangat dengan orang lain, hubungan inter-personal yang didasari oleh kepercayaan, serta perasaan empati, mencintai dan kasih sayang yang kuat. Hubungan tersebut bukan hanya sekedar menjalin hubungan dengan orang lain guna memenuhi kebutuhan psikologis seperti keintiman, tetapi hubungan tersebut sudah melibatkan pengalaman diri sebagai metafisik yang dihubungkan dengan kemampuan menggabungkan identitas diri dengan orang lain serta menghindarkan diri dari perasaan terisolasi dan sendiri.

Ciri-ciri hubungan positif dengan skor tinggi ke rendah adalah: 

  • Hubungan positif dengan skor lebih tinggi: hangat, puas, hubungan yang saling percaya dengan orang lain, peduli dengan kesejahteraan orang lain, mampu menampilkan empati, afeksi dan keintiman yang kuat; memahami hubungan manusia yang memberi dan menerima. 
  • Hubungan positif dengan skor lebih rendah: memiliki sedikit hubungan dekat dan saling percaya dengan orang lain, terasing dan frustrasi dalam hubungan antar pribadi, tidak bersedia membuat kompromi untuk memelihara ikatan yang penting dengan orang lain.

c. Otonomi/Kemandirian (Autonomy) 

Otonomi atau kemandirian adalah tingkat kemampuan individu dalam menentukan nasib sendiri, kebebasan, pengendalian internal, individual, dan pengaturan perilaku internal. Atribut ini merupakan dasar kepercayaan bahwa pikiran dan tindakan individu berasal dari dirinya sendiri, tanpa adanya kendali dari orang lain. Individu yang berhasil mengaktualisasikan dirinya menunjukkan fungsi otonomi dan ketahanan terhadap keterasingan budaya.

Ciri-ciri otonomi atau kemandirian dengan skor tinggi ke rendah adalah: 

  • Otonomi atau kemandirian dengan skor lebih tinggi: memiliki kebulatan tekad dan mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara-cara tertentu, mengatur perilakunya dari dalam, mengevaluasi diri dengan standar pribadi. 
  • Otonomi atau kemandirian dengan skor lebih rendah: khawatir mengenai pengharapan dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, melakukan penyesuaian dengan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara-cara tertentu.

d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) 

Penguasaan lingkungan adalah kemampuan untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis. Penguasaan lingkungan digambarkan dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan.

Ciri-ciri penguasaan lingkungan dengan skor tinggi ke rendah adalah: 

  • Penguasaan lingkungan dengan skor lebih tinggi: memiliki perasaan penguasaan dan mampu mengelola lingkungan, mengendalikan jajaran kegiatan eksternal yang rumit; menggunakan kesempatan di lingkungan sekitar dengan efektif, mampu memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi.
  • Penguasaan lingkungan dengan skor lebih rendah: kesulitan mengelola urusan sehari-hari, merasa tidak mampu mengubah atau memperbaiki konteks dilingkungan sekitarnya, tidak sadar akan peluang dilingkungan sekitarnya, kurangnya kesadaran akan kendali akan dunia eksternal.

e. Tujuan Hidup (Purpose in Life) 

Tujuan hidup memiliki pengertian bahwa individu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Individu mencari makna dan tujuan kehidupannya sendiri sehingga dapat mencapai kesehatan mental dan juga proses perkembangan yang matang. Kondisi mental yang sehat memungkinkan individu untuk menyadari bahwa ia memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani serta mampu memberikan makna pada hidup yang dijalani.

Ciri-ciri tujuan hidup dengan skor tinggi ke rendah adalah: 

  • Tujuan hidup dengan skor lebih tinggi: memiliki tujuan hidup dan kesadaran akan keberarahan (directedness) merasa ada makna dalam kehidupan sekarang dan di masa lalu, memegang keyakinan yang memberikan tujuan hidup, memiliki tujuan dan sasaran untuk hidup. 
  • Tujuan hidup dengan skor lebih rendah: kurangnya perasaan kebermaknaan dalam hidup, memiliki sedikit tujuan atau sasaran, kurangnya kesadaran akan arah, tidak melihat tujuan dalam kehidupan masa lalu, tidak memiliki sikap atau keyakinan yang memberikan makna hidup.

f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) 

Pertumbuhan pribadi merupakan tingkat kemampuan individu dalam mengembangkan potensinya secara terus-menerus, menumbuhkan dan memperluas diri sebagai manusia. Kemampuan ini merupakan gagasan dari individu untuk terus memperkuat kondisi internal alamiahnya. Dalam diri individu terdapat suatu kekuatan yang terus berjuang dan melawan rintangan eksternal, sehingga pada akhirnya individu berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan dari pada sekedar memenuhi aturan moral.

Ciri-ciri pertumbuhan pribadi dengan skor tinggi ke rendah adalah: 

  • Pertumbuhan pribadi dengan skor lebih tinggi: memiliki perasaan perkembangan yang berkesinambungan, melihat diri sebagai diri yang berkembang dan meluas, terbuka akan pengalaman baru, menyadari potensi sendiri; melihat perbaikan di dalam diri dan perilaku sepanjang waktu, berubah untuk mencerminkan lebih banyak pengetahuan diri dan keefektifan. 
  • Pertumbuhan pribadi dengan skor lebih rendah: memiliki perasaan kemandekan pribadi, kurang kesadaran akan perbaikan atau perluasan sepanjang waktu, merasa bosan (dengan) dan tidak tertarik (dalam) hidup, merasa tidak mampu mengembangkan berbagai sikap atau perilaku yang baru.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being 

Menurut Ryff dan Keyes (1995), beberapa faktor yang dianggap dapat mempengaruhi tingkat Psychological Well-Being antara lain yaitu sebagai berikut:

a. Usia 

Perbedaan usia mempengaruhi dimensi-dimensi psychological well-being. Dimensi otonomi dan dimensi penguasaan lingkungan mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama ketika usia dewasa muda sampai dewasa madya. Demikian juga dengan dimensi hubungan positif dengan orang lain mengalami peningkatan dari dewasa muda hingga dewasa akhir. Dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan dengan bertambahnya usia terutama ketika usia dewasa madya sampai akhir. Pada dimensi penerimaan diri tidak ada perbedaan signifikan selama usia dewasa muda sampai akhir.

b. Jenis Kelamin 

Dimensi hubungan positif dengan orang lain memiliki skor lebih tinggi pada wanita daripada laki-laki. Selain itu pola pikir yang berpengaruh terhadap strategi coping dan aktivitas sosial dilakukan wanita lebih cenderung memiliki kemampuan inter-personal yang lebih baik daripada laki-laki.

c. Status Sosial Ekonomi 

Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi dari penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Banyak dampak negatif dari rendahnya status sosial ekonomi, dimana individu yang lebih rendah membandingkan dirinya kurang beruntung daripada orang lain yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang dapat menyesuaikan kesenjangan yang dirasakan. Ditemukan psychological well-being yang tinggi pada individu yang memiliki status pekerjaan yang tinggi.

d. Dukungan Sosial 

Individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi. Dukungan sosial itu sendiri diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, dan penghargaan. Dukungan dapat berasal dari siapa saja termasuk keluarga, teman, rekan kerja, ataupun lingkungan sekitar.

e. Religiositas 

Hal ini berkaitan dengan transedensi segala persoalan hidup kepada Tuhan. Individu yang memiliki religiositas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna.

f. Kepribadian 

Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial seperti penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stres.

Daftar Pustaka

  • Ryff, C.D. 1989. Happiness is Everything, or is it? Exploration on the meaning of psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology.
  • Ryff, C.D., dan Keyes, C.L.M. 1995. The structure of psychological well-being revisited. Journal of personality and social Psychology.
  • Daniella, A.B.B. 2012. Perbedaan Psychological Well-Being Orang Tua Tunggal Laki-Laki dan Orang Tua Tunggal Perempuan yang Bercerai. Jakarta: Universitas Esa Unggul Jakarta.
  • Lakoy, Ferny Santje. 2009. Psychological Well-Being Perempuan Bekerja dengan Status Menikah dan Belum Menikah. Jurnal Psikologi, Vol.7, No.02.
  • Suresh, A., Jayachander, M., & Joshi, S. 2013. Psychological Determinants of Well-Being Among Adolescents. Asia Pacific Journal of Research, Vol.I, Issue XI.

PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Psychological Well-Being. Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2022/04/psychological-well-being.html