Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Anak Tunalaras (Klasifikasi, Karakteristik, dan Layanan Pendidikan)

Anak tunalaras atau anak dengan kelainan perilaku sosial (tunasosial) adalah sebutan untuk individu yang terindikasi memiliki gangguan, hambatan atau berkelainan dalam hal mengontrol emosi dan perilaku sehingga kurang mampu dalam mematuhi sikap, norma, atau nilai sosial yang berlaku di lingkungan masyarakat pada umumnya. Batasan umur anak tunalaras adalah antara umur 6 sampai 17 tahun dengan karakteristik bahwa anak tersebut mengalami gangguan atau hambatan emosi dan berkelainan tingkah laku.

Anak Tunalaras (Klasifikasi, Karakteristik, Identifikasi dan Layanan Pendidikan)

Tunalaras atau tunasosial dikenal juga dengan istilah medis sebagai emotional disturbances, behavior disorders, emotionally handicapped, atau maladjusted children. Anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan emosi dan gangguan dalam berinteraksi dengan teman sebayanya ataupun masyarakat sekitarnya. Anak tunalaras juga mempunyai kebiasaan melanggar norma dan nilai kesusilaan maupun sopan santun yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari, termasuk sopan santun dalam berbicara maupun bersosialisasi dengan orang lain.

Anak tunalaras merupakan anak dengan hambatan, gangguan atau kelainan tingkah laku dan emosi yang tidak dapat berinteraksi dan beradaptasi dengan baik sehingga kurang dapat diterima oleh lingkungannya. Anak tunalaras atau anak tunasosial adalah bentuk tingkah laku anak yang menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu atau menyakiti orang lain. Selain itu, anak tunalaras juga mempunyai kebiasaan melanggar nilai kesusilaan maupun sopan santun yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari, termasuk sopan santun dalam berbicara maupun bersosialisasi dengan orang lain.

Pengertian Anak Tunalaras 

Berikut definisi dan pengertian kelainan perilaku sosial (tunasosial) atau sering dikenal dengan istilah tunalaras dari beberapa sumber buku dan referensi: 

  • Menurut Efendi (2006), tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri ataupun orang lain.
  • Menurut Delphie (2006), tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Anak tunalaras disebut juga dengan istilah medis emotionally handicapped atau behavioral disorder. 
  • Menurut Somantri (2007), tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan atau hambatan emosi dan berkelainan tingkah laku, sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. 
  • Menurut Wardani, dkk (2007), tunalaras adalah anak yang secara terus menerus menunjukkan penyimpangan perilaku sehingga menimbulkan ketidakmampuan belajar dan penyesuaian diri, walaupun telah menerima layanan belajar serta bimbingan. 
  • Menurut Kosasih (2012), tunalaras adalah sebutan untuk anak yang terindikasi memiliki gangguan dalam hal emosi dan perilaku, yang diakibatkan oleh masalah intrapersonal sehingga ia mengalami kesulitan dalam berperilaku sesuai norma yang ada di masyarakat pada umumnya. 
  • Menurut Pratiwi dan Murtiningsih (2013), tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan emosi dan kepribadian, sehingga tidak selaras dengan norma di lingkungan sekitarnya.

Klasifikasi Anak Tunalaras 

Menurut Sunardi (1995), anak tunalaras atau tunasosial dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu berdasarkan klasifikasi psikiatris dan klasifikasi behavioristik. Adapun penjelasan jenis klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Klasifikasi Psikiatris 

Berdasarkan tingkatan ringan, sedang atau berat, tunalaras dibagi menjadi: 

  1. Tingkat ringan atau sedang, meliputi neurosis, psychoneurosis, gangguan perilaku kepribadian yaitu penyimpangan perilaku ditandai dengan konflik emosi dan kecemasan tetapi masih mempunyai hubungan dengan dunia nyata. 
  2. Tingkat berat, meliputi (1) Psychosis: yaitu penyimpangan perilaku ditandai dengan penyimpangan dari pola-pola perilaku normal dalam berpikir dan bertindak. (2) Schizophrenia: yaitu gangguan jiwa ditandai dengan distorsi berpikir, persepsi tidak normal, dan perilaku atau emosi yang aneh. (3) Autism: gangguan jiwa tingkat berat pada masa anak-anak, ditandai dengan isolasi diri secara berlebihan, perilaku aneh, keterlambatan perkembangan, biasanya dapat diamati sebelum usia 2,5 tahun.

b. Klasifikasi Behavioristic 

Berdasarkan perilakunya, anak tunalaras dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: 

  1. Conduct disorder, juga disebut unsocialized aggression, yaitu ketidakmampuan mengendalikan diri seperti berkelahi, memukul, menyerang orang lain, pemarah, tidak patuh, menentang, merusak milik orang lain, kurang ajar, nakal, hiperaktif, menolak arahan, mudah terganggu perhatiannya, mencuri, menyalahkan orang lain, gaduh, dan ramai. 
  2. Socialized aggression, yaitu berbagai perilaku yang dilakukan secara berkelompok, seperti bertemu dengan anak-anak jahat, mencuri secara kelompok, setia dengan teman-teman yang nakal, menjadi anggota geng, keluar rumah sampai larut malam, bolos dari sekolah, dan lari dari rumah.
  3. Anxiety-withdrwal, juga disebut personality problem, adalah perilaku yang berkaitan dengan kepribadian seperti, cemas, takut, tegang, sangat pemalu, menyendiri, tidak berteman, sedih, depresi, terlalu sensitif, terlalu perasa, merasa rendah diri, kurang percaya diri, mudah bingung, sangat tertutup, dan sering menangis. 
  4. Immaturity/inadequacy, yaitu kelompok perilaku yang menunjukkan sikap kurang dewasa, kurang matang, seperti kemampuan memperhatikan pendek, tak dapat berkonsentrasi, melamun, kaku, pasif, kesulitan memperhatikan, kurang minat, gagal menyelesaikan sesuatu, ceroboh, dan tidak rapi.

Adapun menurut Meimulyani dan Caryoto (2013), berdasarkan jenis gangguan yang dialami, anak tunalaras atau tunasosial dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu:

a. Gangguan penyesuaian diri dengan lingkungan 

Anak tunalaras yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu: 

  1. The semi-socialized child. Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Keadaan ini terjadi pada anak yang datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Di lingkungan sekolah, karena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka sering kali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh peraturan di luar kelompoknya. Dengan demikian anak selalu merasakan ada masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya. 
  2. Children arrested at a primitive level or socialization. Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkat yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari orang tua, yang berakibat pada perilaku anak kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah. 
  3. Children with minimum socialization capacit. Anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersifat apatis dan egois.

b. Gangguan Emosi 

Anak tunalaras yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari: 

  1. Neurotic behavior. Anak pada kelompok ini masih dapat bergaul dengan orang lain, tetapi mereka mempunyai permasalahan pribadi yang tidak dapat diselesaikan. Mereka sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, cemas, dan agresif serta rasa bersalah dan kadang-kadang mereka melakukan tindakan lain seperti yang dilakukan oleh anak unsocialized. Anak pada kelompok ini dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. 
  2. Children with psychotic processes. Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus, mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Hal ini disebabkan karena gangguan dari sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minum minuman keras dan obat-obatan.

Karakteristik Perkembangan Anak Tunalaras 

Menurut Hidayat, dkk (2013), perkembangan kognitif, kepribadian, emosi, dan sosial anak tunalaras dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Perkembangan Kognitif 

Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah sering kali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi yang rendah. Kelemahan dalam perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak dengan intelegensi rendah di sekolah adalah ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya, padahal pada dasarnya seorang anak tidak ingin berbeda dengan kelompoknya terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar.

b. Perkembangan Kepribadian 

Kepribadian merupakan struktur yang unik, tidak ada dua individu yang memiliki kepribadian sama. Para ahli mendefinisikan kepribadian sebagai suatu organisasi yang dinamis pada sistem psikofisis individu yang turut menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tingkah laku yang ditampilkan orang ini erat sekali kaitannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Konflik psikis dapat terjadi apabila terjadi benturan antara usaha pemenuhan kebutuhan dengan norma sosial. Kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian konflik, dapat menjadikan stabilitas emosi terganggu. Selanjutnya mendorong terjadinya perilaku menyimpang dan dapat menimbulkan frustrasi pada diri individu.

c. Perkembangan Emosi 

Terganggunya perkembangan emosi merupakan penyebab dari tingkah laku anak tunalaras. Ciri yang menonjol pada mereka adalah kehidupan emosi yang tidak stabil, ketidakmampuan mengekspresikan emosi secara tepat, dan pengendalian diri yang kurang sehingga mereka sering kali menjadi sangat emosional. Terganggunya kehidupan emosi ini terjadi sebagai akibat ketidakberhasilan anak dalam melewati fase-fase perkembangan.

d. Perkembangan Sosial 

Sebagaimana telah kita pahami bahwa anak tunalaras mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau lingkungannya. Hal ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk membentuk hubungan sosial dengan semua orang. Dalam banyak kejadian ternyata mereka dapat menjalin hubungan sosial yang sangat erat dengan teman-temannya. Anak tunalaras memiliki penghayatan yang keliru, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya. Mereka menganggap dirinya tidak berguna bagi orang lain dan merasa tidak berperasaan. Oleh karena itu timbullah kesulitan apabila akan menjalin hubungan dengan mereka.

Identifikasi Anak Tunalaras 

Menurut Hidayat, dkk (2013), terdapat beberapa cara atau metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi atau identifikasi secara dini terhadap anak yang dianggap mengalami gangguan tunalaras, antara lain yaitu sebagai berikut:

a. Psikotes 

Psikotes dilakukan untuk mempengaruhi kematangan sosial dan gangguan emosi. Sedangkan alat tes yang lain yaitu tes proyeksi yang memiliki beberapa jenis tes yaitu: 

  1. Tes Rorchach. Tes ini memberikan gambaran mengenai keseluruhan kepribadian, kelainan dan perlunya psikoterapi. Gambaran ini ditafsirkan dari reaksi anak terhadap gambaran-gambaran yang terbuat dari tetesan tinta. 
  2. Thematic Apperception Test (TAT). Tes ini memperlihatkan berbagai situasi emosi dalam bentuk gambar-gambar. Gambaran kepribadian tampak dari tafsiran anak mengenai situasi emosi tersebut untuk itu disediakan skala khusus. 
  3. Tes Gambar Orang. Dalam tes ini persoalan-persoalan emosi tampak dari gambar yang harus dibuat oleh anak. Gambarnya ialah seorang laki-laki dan seorang perempuan.
  4. Dispert Fable Tes. Tes ini memberikan gambaran mengenai: iri hati, rasa dosa, rasa cemas, tanggapan terhadap diri sendiri, ketergantungan kepada orang tua, dan sebagainya.

b. Sosiometri 

Sosiometri adalah alat tes yang digunakan untuk melihat/mengetahui suka atau tidaknya seseorang. Caranya ialah tanyakan kepada para anggota kelompok siapa di antara anggotanya yang mereka sukai. Setia anggota hendaknya memilih menurut pilihannya sendiri. Dari jawaban itu akan diketahui siapa yang lain disukai oleh para anggota. Perlu diperingatkan bahwa hasil-hasil sosiometri adalah hasil sementara yang perlu ditelaah lebih lanjut. Anak yang terpencil dalam suatu saat belum tentu anak yang tunalaras, bahkan mungkin tidak terpencil lagi dalam sosiometri berikutnya. Walaupun demikian, sosiometri dapat dipakai bersama-sama dengan cara yang lain.

c. Membandingkan dengan tingkah laku anak pada umumnya 

Keadaan tunalaras dapat diketahui dengan jalan membandingkan tingkah laku anak dengan tingkah laku anak pada umumnya. Pekerjaan membandingkan boleh dilakukan oleh setiap orang dewasa. Anak yang jahat dapat diketahui jahatnya oleh masyarakat. Demikian juga anak yang tidak jahat tetapi kelakuannya tidak sesuai dengan norma yang berlaku, diketahui oleh masyarakat. Masyarakat mempunyai ketentuan-ketentuan untuk menetapkan jahat dan tidaknya atau serasi dan tidaknya tingkah laku para anggotanya. Siapa yang melanggar ketentuan ini akan dibenci, dimarahi, diasingkan, malah ditindak, tetapi yang baik akan dihargai, diterima kehadirannya malah dipuji.

d. Memeriksakan ke klinik psikiatri anak 

Bentuk usaha lain untuk mengetahui anak tunalaras adalah dengan memeriksakan ke klinik psikiatri. Tugas pokonya ialah melakukan usaha rehabilitasi dan penyembuhan terhadap mereka yang mengalami kelainan psikis, tetapi juga dapat menetapkan apakah seseorang mempunyai kelainan tunalaras atau tidak. Dalam surat keterangan yang telah dikeluarkan oleh klinik psikiatri anak menyebutkan istilah antara lain: 

  1. Anxienty hysteria. Merasa takut pada sesuatu atau pada seseorang tanpa alasan yang dapat diterima. Perasaan ini lahir dari usaha menekankan hasrat-hasrat yang sifatnya naluriah. 
  2. Conversion hysteria. Mempunyai gangguan pada fungsi beberapa anggota tubuh, perbuatan gangguan pada pendirian. Gangguan tersebut lahir dari usaha yang lama menekan hasrat-hasrat yang sifatnya naluriah. 
  3. Obsessional neurosis. Cepat menuduh, banyak dalih, menutup diri, kaku berjalan, dan sebagainya. Ini adalah pernyataan dari hati yang sangat sensitif dan takut diserang. Hal ini juga timbul dari usaha menoleh sesuatu hasrat. 
  4. Sexual perversion. Suka menikmati sexual secara tidak wajar, seperti mengintip, melakukan hubungan dengan teman sejenis. 
  5. Character neuroses. Perubahan tingkah laku yang lahir dari konflik batin yang tidak mendapat penyelesaian.
  6. Psychose Anak. Mempunyai kesulitan menyesuaikan diri terhadap segala-galanya.

Layanan Pendidikan Anak Tunalaras 

Program pendidikan bagi anak dengan gangguan emosi membutuhkan perhatian termasuk dukungan moral, bantuan agar mereka menguasai akademisnya, membangun kemampuan sosialnya, meningkatkan kesadaran diri, kemampuan mengontrol diri dan kepercayaan diri. Menurut Meimulyani dan Caryoto (2013), terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan Anak tunalaras, yaitu: 

  1. Berusaha mengatasi semua masalahnya dengan menyesuaikan proses pembelajaran sesuai dengan kondisi anak tunalaras.
  2. Berusaha mengembangkan kemampuan fisik, mengembangkan bakat dan menegmbangkan intelektual 
  3. Memberi keterampilan khusus untuk bekal hidupnya.
  4. Memberi kesempatan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
  5. Member rasa aman agar mereka punya percaya diri dan tidak merasa disia-siakan oleh lingkungan sekitar.
  6. Menciptakan suasana yang tidak menambah rasa rendah diri dan rasa bersalah bagi anak tunalaras.

Adapun menurut Pierangelo dan Giuliani (2008), terdapat beberapa teknik dan strategi pendidikan yang dapat diterapkan untuk mengarahkan anak dengan gangguan emosi dan perilaku seperti anak tunalaras atau tunasosial, yaitu sebagai berikut: 

  1. Interest Boosting (meningkatkan perhatian siswa). Agar siswa tidak selalu bertindak di luar pelajaran atau menyimpang dari materi yang sedang diajarkan, alangkah baiknya jika guru menambahkan suatu metode atau media dalam belajarnya, yang menambah ketertarikan serta perhatian siswa pada materi yang sedang di ajarkan. 
  2. Planned Ignoring (perencanaan teknik pengabaian/penolakan). Teknik ini merupakan bagian dari modifikasi perilaku. Keberhasilan dari teknik ini dipengaruhi oleh perencanaan yang matang sebelum perilaku yang tidak diharapkan dari siswa terjadi. Misalnya ketika dalam situasi pembelajaran, salah satu siswa berusaha untuk mencoba untuk mencari perhatian dengan mengganggu siswa lain, maka guru dapat menerapkan teknik pengabaian yang diwujudkan dengan tidak memanggil siswa tersebut, tetapi tetap melanjutkan kegiatan belajar mengajar. Penting bagi guru untuk menyediakan penguatan positif jika perilaku yang diharapkan muncul. Teknik ini tidak diperkenankan untuk diberikan bagi tunalaras dengan kategori masalah perilaku yang cukup berat. 
  3. Providing More Information (memberi informasi lanjutan). Memberikan penjelasan mengenai pengalaman dan harapan apa yang dapat dicapai dari hasil belajar siswa, jika siswa tidak bereaksi saat melakukan kesalahan persepsi atau kesalahpahaman. 
  4. Tension Reduction Through Humor (mengurangi ketegangan dengan humor). Sering kali suatu masalah yang potensial sekalipun akan teredamkan jika di selingi dengan humor. Kecemasan, ketakutan bahkan sebuah tantangan pasti membuat tiap orang terbawa dalam reaksi negatif. Namun keadaan ini perlahan dapat teredam dengan datangnya selingan humor. Humor juga telah terbukti dapat menekan kecemasan yang dialami seseorang karena ekspresi mereka terbawa ke arah positif dan muncul dalam bentuk sebuah senyuman atau tawa.
  5. Acknowledging the Message (memberi suatu pesan pengakuan). Memberi pesan pengakuan dengan jujur dengan cara tidak menghakimi adalah lebih baik dibandingkan memberikan pengakuan dengan cara menentang. Dengan cara ini perilaku yang dihasilkan akan lebih baik, karena siswa belajar untuk menghargai serta menghormati orang lain.
  6. Signal Interference (sinyal interferensi). Termasuk teknik pengendalian emosi dan perilaku siswa dengan cara non verbal, saat perilakunya mulai menyimpang. Contoh: mengangkat tangan untuk menunjukkan arti "berhenti". 
  7. Proximity control (kontrol kedekatan). Saat siswa mulai menunjukkan perilaku mengganggu atau merusak, sebaiknya pendidik mulai bergerak mendekati siswa sambil membawanya ke dalam aktivitas dengan kelompoknya. Tidak ada hukuman apapun yang diberikan pada siswa saat itu. Karena umumnya, dengan adanya kehadiran orang yang lebih dewasa di dekatnya, cukup untuk meredakan perilaku ringan yang menyimpang. Maka, perlu diperhatikan apakah siswa merasakan kedekatan itu sebagai sebuah ancaman atau tidak. 
  8. Hurdle Help (bantuan rintangan). Pendidik dapat memberikan instruksi secara langsung kepada siswa, saat ia mengalami kesulitan dalam melakukan komunikasi dengan temannya. Pendidik dapat memberikan sebuah saran saat masalah itu muncul, sehingga siswa mengikuti arah yang benar.
  9. Making A Direct Appeal to Values (membuat nilai pembanding langsungan). Siswa didorong untuk membuat suatu alasan mengenai perilaku mereka. Siswa didorong untuk berpikir apakah perilaku yang mereka munculkan itu dapat membantu memperbaiki situasi atau tidak. Satu per satu penjelasan dapat menimbulkan pemahaman, perilaku seperti apakah yang dapat membuat keadaan semakin memburuk, kemudian menemukan sikap yang tepat yang dapat membantu siswa fokus pada masalah yang dihadapi. Contoh pertanyaan: "Kenapa ini bisa terjadi?, Apa yang harus kamu lakukan?, Bagaimana perasaanmu?, mengapa kamu bersikap demikian?". Sampai akhirnya siswa berkomitmen dirinya untuk tidak melakukan atau bahkan masih mau melakukan perilaku tersebut setiap kali permasalahan terjadi. 
  10. Infusion with Affection (selalu berikan kasih sayang). Setiap sikap yang positif, dukungan, serta penghargaan yang diberikan seseorang, dapat membuat anak mampu merespon dengan sangat tepat. Sebuah kehangatan, keterbukaan, serta kepedulian dari seorang guru, dapat membantu setiap curahan siswa tentang masalah yang dialaminya, sehingga siswa dapat bersikap dengan tepat, dan masalah tersebut tidak menjadi semakin parah.

Daftar Pustaka

  • Efendi, Mohammad. 2006. Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Delphie, B. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Refika Aditama.
  • Somantri, S. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.
  • Wardani, dkk. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.
  • Kosasih, E. 2012. Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Yrama Widya.
  • Pratiwi, R.P., dan Murtiningsih, A. 2013. Kiat Sukses Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
  • Sunardi. 1995. Ortopedagogik Anak Tunalaras I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Meimulyani, Y dan Caryoto. 2013. Media Pembelajaran Adaptif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Luxima.
  • Hidayat, Saepul, D., dan Gunawan, W. 2013. Mengembangkan Pendidikan Bagi Peserta Didik: Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa. Bandung: Luxima Metro Media.
  • Pierangelo, R., dan Giuliani, G. 2008. Teaching Students With Learning Disabilities. New Delhi: Corwin Press.
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Anak Tunalaras (Klasifikasi, Karakteristik, dan Layanan Pendidikan). Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2022/05/anak-tunalaras.html