Kesiapan Menikah (Pengertian, Aspek dan Bentuk)
Kesiapan menikah adalah suatu kondisi siap sedia (siaga) untuk menghadapi dan menjalani pernikahan yang ditunjang dengan tingkat perkembangan kematangan individu baik fisik, mental, psikologis, dan materi dalam membentuk hubungan antara dua individu serta lahirnya anak-anak. Kesiapan menikah merupakan hal yang sangat penting bagi individu saat akan menikah, agar tugas-tugas perkembangan dalam pernikahan dapat terpenuhi.
Kesiapan menikah adalah kesediaan individu untuk mempersiapkan diri membentuk suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga dan rumah tangga yang kekal yang diakui secara agama, hukum dan masyarakat. Kesiapan untuk menikah merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah siap secara fisik dan mental untuk menikah, agar pernikahan dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, yaitu rumah tangga yang senantiasa bahagia.
Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga dan siap mengasuh anak. Kesiapan menikah dapat dipandang sebagai aspek dari proses pemilihan pasangan atau proses perkembangan hubungan.
Kesiapan menikah merupakan persepsi terhadap kemampuan individu untuk dapat menampilkan dirinya di dalam peran-peran pernikahan. Pasangan suami istri harus mempunyai bekal yang cukup dalam menghadapi berbagai permasalahan yang mungkin terjadi dalam pernikahan. Kesiapan dalam sebuah pernikahan baik dari segi kehidupan sosial, ekonomi, fisiologis, maupun psikologis. Selain itu, kesiapan menikah dianggap sebagai evaluasi subjektif dari kesiapan diri sendiri untuk dapat mengambil tanggung jawab dan menjawab tantangan dari pernikahan.
Pengertian Kesiapan Menikah
Berikut definisi dan pengertian kesiapan menikah dari beberapa sumber buku:
- Menurut Kamus Lengkap Psikologi (2000), kesiapan adalah suatu keadaan siap sedia (siaga) untuk bereaksi atau menanggapi suatu hal yang merupakan suatu tingkat perkembangan kematangan atau kedewasaan seseorang.
- Menurut Chaplin (2006), kesiapan adalah tingkat perkembangan kematangan atau kedewasaan individu, sehingga akan menguntungkan yang bersangkutan untuk mempraktikkan sesuatu.
- Menurut Duvall dan Miller (1985), menikah adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat, yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan sebagai istri.
- Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2001), pernikahan adalah ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga merupakan awal dari terbentuknya keluarga dengan penyatuan dua individu yang berlainan jenis serta lahirnya anak-anak.
- Menurut Roesgiyanto (1999), kesiapan menikah adalah keadaan seseorang yang sudah bersedia untuk menikah. Faktor yang mendukung kesiapan seseorang untuk menikah adalah faktor mental dan psikologisnya.
- Menurut Sofia (2000), kesiapan menikah adalah rasa siap dan mantap untuk menghadapi dan menjalani perkawinan yang ditunjang adanya kematangan individu dalam berpikir dan berperilaku untuk menghadapi segala konsekuensi yang paling nyata yaitu perubahan status individu dari lajang berganti menjadi seorang suami atau seorang istri dan penyesuaian diri yang terus menerus.
Aspek-aspek Kesiapan Menikah
Menurut Blood (1978), aspek-aspek kesiapan menikah dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kesiapan pribadi (personal) dan kesiapan situasi (ciscumstantial). Adapun penjelasan dari masing-masing aspek tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kesiapan Pribadi (Personal)
Seseorang yang akan menikah, secara pribadi harus menyiapkan hal-hal antara lain yaitu sebagai berikut:
1. Kematangan Emosi
Kematangan emosi adalah konsep normatif dalam perkembangan psikologis yang berarti bahwa seorang individu telah menjadi seorang yang dewasa. Individu yang telah matang secara emosi maka sudah dapat dikatakan dewasa. Orang dewasa adalah orang yang telah mengembangkan kemampuannya untuk membangun dan memelihara hubungan pribadi. Individu dewasa dapat dikatakan telah memiliki kematangan emosi adalah kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan pribadi, mampu mengerti perasaan orang lain (empati), mampu mencintai dan dicintai, mampu untuk memberi dan menerima, serta sanggup membuat komitmen jangka panjang.
2. Kesiapan Usia
Pada dasarnya usia dikaitkan dengan kedewasaan atau kematangan, karena proses untuk menjadi individu yang matang atau dewasa membutuhkan waktu sampai individu tersebut menjadi dewasa secara emosi atau pribadi. Individu yang telah dewasa dari segi usia tentunya akan memutuskan untuk menikah. Semakin tua usia seseorang maka semakin dewasa pemikiran seseorang. Sebaliknya, semakin muda usia seseorang maka semakin sulit untuk mengatasi emosi-emosinya.
3. Kematangan Sosial
Kematangan sosial dapat dilihat dari dua hal, yaitu pengalaman berkencan (enough dating) dan pengalaman hidup sendiri (enough single life). Pengalaman berkencan yang dilihat dengan adanya keinginan untuk mengabaikan lawan jenis yang tidak di kenal secara dekat, namun membuat komitmen dalam membangun hubungan hanya dengan seseorang yang khusus yang telah dikenal. Selain seseorang telah cukup melakukan kencan, seseorang juga memerlukan waktu untuk hidup mandiri sementara waktu tanpa harus bergantung kepada orang tua. Seorang individu, khususnya wanita merasa perlu untuk membuktikan pada diri mereka sendiri, orang tua, dan pasangan bahwa mereka mampu untuk mengambil keputusan dan mengatur takdirnya sendiri.
4. Kesehatan Emosional
Permasalahan emosional yang dimiliki manusia di antaranya adalah kecemasan, merasa tidak nyaman, curiga, dan lain-lain. Jika hal tersebut berada tetap pada diri seseorang maka ia akan sulit menjalin hubungan dengan orang lain. Masalah emosi biasanya menjadi tanda dari ketidak-matangan, yaitu bersikap posesif, ketidakmampuan bertanggung jawab dan tidak dapat diprediksi.
5. Kesiapan Model Peran
Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik dengan melihat figur ayah dan ibu mereka. Kehidupan pernikahan harus dijalani dengan mengetahui apa saja peran individu yang telah menikah sebagai suami istri. Orang tua yang memiliki figur suami dan istri yang baik dapat mempengaruhi kesiapan menikah anak-anak mereka.
b. Kesiapan Situasi (Circumstantial)
Selain kesiapan pribadi atau personal, seseorang yang akan menikah juga perlu menyiapkan hal-hal yang bersifat situasional, antara lain yaitu sebagai berikut:
1. Kesiapan Finansial
Kesiapan finansial tergantung dari nilai-nilai yang dimiliki masing-masing pasangan. Pasangan yang menikah di usia muda yang masih memiliki penghasilan yang rendah, maka sedikit banyak masih memerlukan bantuan materi dari orang tua. Pasangan seperti ini dikatakan belum mampu mandiri sepenuhnya dalam mengurus rumah tangga yang memungkinkan akan menghadapi masalah yang lebih besar nantinya. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin besar kemungkinan ia untuk menikah. Pernikahan yang masih mendapat bantuan dari keluarga atau orang tua dapat mempengaruhi hubungan pasangan dalam rumah tangga.
2. Kesiapan Waktu
Persiapan sebuah pernikahan akan berlangsung baik jika masing-masing pasangan diberikan waktu untuk mempersiapkan segala hal, meliputi persiapan sebelum maupun setelah pernikahan. Masing-masing pasangan perlu mempersiapkan rencana-rencana untuk pernikahan, bulan madu, dan tahun-tahun pertama pernikahan. Persiapan rencana yang tergesa-tergesa akan mengarah pada persiapan pernikahan yang buruk dan memberi dampak yang buruk pada awal-awal pernikahan.
Bentuk-bentuk Kesiapan Menikah
Menurut Nuryoto (1982), pribadi yang akan mempersiapkan untuk menikah, terdapat beberapa bentuk persiapan, antara lain yaitu sebagai berikut:
- Kesiapan Fisik. Berarti individu telah memiliki kematangan seksual sehingga mampu untuk mendapatkan keturunan serta individu siap pula menerima konsekuensi sebagai orang tua (hamil, melahirkan, menyusui, mengasuh anak dan lain-lain).
- Kesiapan Sosial. Berarti individu harus siap untuk memikul status baru di dalam masyarakat sebagai suami atau istri dengan segala konsekuensinya serta berusaha untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan budaya yang berlainan.
- Kesiapan Psikis. Berarti individu harus sudah tahu tugasnya sebagai suami atau istri dalam rumah tangga serta remaja tidak memiliki kecemasan yang berlebihan terhadap pernikahan tapi menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang wajar untuk dijalani.
- Kesiapan Ekonomi. Berarti individu harus sudah mampu untuk mandiri dan mampu memenuhi segala kebutuhannya serta tidak lagi tergantung pada orang tua. Individu yang siap secara ekonomi juga memiliki perencanaan keuangan yang unik dan pengelolaan keuangan yang realistis.
Selain itu menurut Duvall dan Miller (1985), seseorang dinyatakan siap untuk menikah apabila memenuhi beberapa bentuk atau kriteria, antara lain yaitu sebagai berikut:
- Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.
- Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak.
- Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan seksual.
- Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim.
- Memiliki kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain.
- Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.
- Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan harapan.
- Bersedia berbagi rencana dengan orang lain.
- Bersedia menerima keterbatasan orang lain.
- Realistis terhadap karakteristik orang lain.
- Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi.
- Bersedia menjadi suami atau istri yang bertanggung jawab.
Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah
Menurut Walgito (2000), saat akan memasuki dunia pernikahan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan untuk menikah, yaitu sebagai berikut:
a. Faktor biologis
Faktor biologis berkaitan dengan beberapa hal, yaitu; kesehatan, keturunan, dan sexual fitness. Adapun penjelasan dari faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
- Kesehatan, bahwa keadaan kesehatan seseorang dalam hubungannya dengan perkawinan merupakan satu faktor penting dan merupakan faktor esensial dalam perkawinan.
- Keturunan, masalah keturunan ini juga merupakan persoalan dalam perkawinan, karena dalam perkawinan pasangan suami istri menginginkan keturunan yang baik oleh karena itu masalah keturunan ini menjadi hal yang perlu mendapat perhatian.
- Sexual Fitness, terkait dengan apakah individu dapat melakukan hubungan seksual secara wajar atau tidak.
b. Faktor sosial ekonomi
Faktor ini merupakan faktor yang perlu mendapat pertimbangan dalam perkawinan, sekalipun ada sementara pihak yang memandang hal ini bukanlah merupakan suatu faktor yang mutlak, namun perlu dipertimbangkan sebelum menikah.
c. Faktor agama dan kepercayaan
Dalam pernikahan faktor agama atau kepercayaan hendaknya menjadi perhatian pasangan. Sebaiknya pasangan memiliki agama yang sama. Dengan kesamaan agama maka akan meminimalkan munculnya perbedaan yang terkait dengan agama tersebut.
d. Faktor psikologis
Kedewasaan dalam sisi psikologis merupakan faktor yang dituntut dalam perkawinan. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah kematangan emosi, toleransi atau kesiapan untuk berkorban, sikap saling pengertian, saling mengerti akan kebutuhan masing-masing pihak, dapat saling memberi dan menerima kasih sayang, sikap saling mempercayai, adanya keterbukaan dalam komunikasi, kesiapan diri untuk lepas dari orang tua untuk hidup mandiri.
Daftar Pustaka
- Chaplin, J.P. 2000. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali.
- Chaplin, J.P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo.
- Duvall, E.M., dan Miller, B.C. 1985. Marriage and Family Development. New York: Harper & Row.
- Papalia, D.E., Old, S.W., dan Feldman, R.D. 2001. Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika.
- Roesgiyanto, H. 1999. Hubungan antara Religiusitas dengan Kesiapan Menikah pada Mahawiswa Muslim di UGM. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
- Sofia, E. 2000. Hubungan antara Ketrampilan Sosial dan Toleransi Stres denganKesiapan menuju Kehidupan Perkawinan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
- Blood, M. 1978. Marriage. New York: The Free Milan Publishing.
- Nuryoto, S. 1982. Perkawinan Usia Muda Ditinjau Dari Sudut Kematangan dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: BKKBN.
- Walgito, B. 2000. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi Offset.