Kematangan Beragama (Aspek, Ciri dan Faktor yang Mempengaruhi)
Kematangan beragama adalah kemampuan seseorang untuk berpegang teguh pada agama yang diyakininya, mengenali atau memahami nilai-nilai agama, serta memberi arah pada kerangka hidup yang dibuktikan dalam perilaku nyata dalam kehidupan. Individu memiliki kematangan beragama akan terlihat dari kemampuannya untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kematangan beragama merupakan watak keberagamaan yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang kemudian kumpulan dari pengalaman tersebut membentuk suatu konsep dan prinsip pada diri seseorang dalam menjalani hidupnya yang bersandar pada nilai-nilai agama. Apabila kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, maka dalam berbuat dan bertingkah laku ia akan mempertimbangkannya apakah perbuatan itu sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam agama yang dianutnya.
Konsep kematangan beragama diartikan sebagai sentimen keberagamaan yang terbentuk melalui pengalaman, untuk merespon objek-objek konseptual dan prinsip-prinsip yang dianggap penting dan menetap dalam kehidupan yaitu agama dan dilakukan secara sadar dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan tertentu. Kematangan beragama pada seseorang ditandai bukan hanya dalam memegang teguh paham keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tangung jawab, melainkan juga dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam.
Pengertian Kematangan Beragama
Berikut definisi dan pengertian kematangan beragama dari beberapa sumber buku dan referensi:
- Menurut Rakhmat (2007), kematangan beragama adalah kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai-nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku.
- Menurut Indirawati (2006), kematangan beragama adalah keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktis dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama yang diyakininya.
- Menurut Ismail (2012), kematangan beragama adalah pengalaman perjumpaan batin seseorang dengan Tuhan, yang pengaruhnya dibuktikan dalam perilaku nyata dalam kehidupan seseorang. Jadi, kematangan beragama terjadi ketika seseorang secara aktif menyelaraskan hidupnya dengan tuntunan Tuhan.
- Menurut Sururin (2004), kematangan beragama kemampuan seseorang dalam berpegang teguh pada agama yang diyakininya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab disertai dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam.
Aspek-aspek Kematangan Beragama
Menurut Ahyadi (1995), kematangan beragama memiliki beberapa aspek, yaitu sebagai berikut:
a. Diferensiasi yang baik
Perkembangan kehidupan kejiwaan, diferensiasi berarti semakin bercabang, makin bervariasi, makin kaya dan makin majemuk suatu aspek psikis dimiliki seseorang. Semua pengalaman, rasa dan kehidupan beragama makin lama semakin matang, semakin kaya, kompleks dan makin bersifat pribadi. Pemikiran makin kritis dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dengan berlandaskan ke-Tuhanan. Penghayatan hubungan dengan Tuhan makin bervariasi dalam berbagai suasana dan nuansa. Kesadaran beragama yang terdiferensiasi merupakan perkembangan tumbuhnya cabang-cabang baru dari pemikiran kritis, alam perasaan dan motivasi terhadap berbagai rangsangan lingkungan serta terjadinya reorganisasi yang terus menerus. Mulai dari peniruan dan identifikasi terhadap kehidupan kejiwaan orang tua, sosialisasi dengan kehidupan masyarakat sekitarnya, timbulnya pemikiran- pemikiran dan pengolahan sendiri melalui pengalaman keagamaan, akhirnya bercabang dan beranting menjadi kesabaran yang beragam dan rimbun.
b. Motivasi kehidupan beragama yang dinamis
Motivasi beragama akan timbul sebagai realisasi dari potensi manusia yang merupakan makhluk rohaniah serta berusaha mencari dan memberikan makna pada hidupnya. Motivasi intrinsik merupakan dorongan untuk beragama yang berasal dari dalam diri sendiri. Individu yang memiliki motivasi intrinsik akan berpandangan bahwa agama adalah hal yang personal, penuh penghayatan, dan keyakinan agama sebagai tujuan akhirnya. Makin besar derajat kepuasan yang diberikan oleh agama, makin kokoh dan makin otonom motif tersebut. Akhirnya merupakan motif yang berdiri sendiri dan secara konsisten serta dinamis mendorong manusia untuk bertingkah laku sesuai dengan norma-norma agama.
c. Pelaksanaan ajaran agama secara konsisten dan produktif
Kesadaran beragama yang matang terletak pada konsistensi atau keajegan pelaksanaan hidup beragama secara bertanggung jawab dengan mengerjakan perintah agama sesuai kemampuan dan meninggalkan larangan-Nya. Pelaksanaan kehidupan beragama atau peribadatan merupakan realisasi penghayatan ke-Tuhanan dan keimanan. Orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang akan melaksanakan ibadahnya dengan konsisten, stabil, mantap dan dilandasi warna pandangan agama yang luas. Tiada kebahagiaan yang lebih besar daripada menjalankan kewajiban dan tiada kewajiban yang lebih mulia daripada kewajiban melaksanakan perintah agama.
d. Pandangan hidup yang komprehensif
Kepribadian yang matang memiliki filsafat hidup yang utuh dan komprehensif. Keanekaragaman kehidupan harus diarahkan pada keteraturan ini berasal dari analisis terdapat fakta yang ternyata mempunyai hubungan satu sama lain. Fakta yang perlu dicari kaidahnya itu bukan hanya benda materi akan tetapi keteraturan itu meliputi pula alam perasaan, pemikiran, motivasi, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai kehidupan rohaniah. Manusia memerlukan pegangan agar dapat menentukan pilihan tingkah-lakunya secara pasti. Orang yang memiliki kesadaran beragama komprehensif dan utuh bersikap dan bertingkah-laku toleran terhadap pandangan dan paham yang berbeda. Ia menyadari, bahwa hasil pemikiran dan usaha sepanjang hidupnya tidak mungkin mencakup keseluruhan permasalahan dan realitas yang ada. Setidaknya ia akan mengakui bahwa dirinya tidak mampu memberikan gambaran tentang dzat Tuhan.
e. Pandangan hidup yang Integral
Kesadaran beragama yang matang ditandai dengan adanya pegangan hidup yang komprehensif yang akan mengarahkan dan menyelesaikan berbagai permasalahan hidup filsafat. Hidup yang komprehensif meliputi berbagai pola pandangan pemikiran dan perasaan yang luas, di samping komprehensif, pandangan dan pegangan hidup yang menyatukan hasil diferensiasi aspek kejiwaan yang meliputi fungsi kognitif, afektif, konatif atau psikomotorik, dalam kesadaran beragama integrasi tercermin pada keutuhan pelaksanaan ajaran agama, yaitu keterpaduan Ikhsan, iman, dan peribadatan. Pandangan hidup yang matang bukan hanya pada keluasan cakupannya saja, akan tetapi memiliki landasan terpadu yang kuat dan harmonis.
f. Semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan
Ciri lain dari orang yang memiliki kesadaran agama yang matang ialah adanya semangat mencari kebenaran, keimanan, rasa ke-Tuhanan dan cara-cara terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. Ia selalu menguji keimanannya melalui pengalaman-pengalaman keagamaan sehingga menemukan keyakinan lebih tepat. Peribadatannya selalu dievaluasi dan ditingkatkan agar menemukan kenikmatan penghayatan kehadiran Tuhan.
Karakteristik Kematangan Beragama
Menurut Rakhmat (2007), karakteristik atau kriteria seseorang yang telah memiliki kematangan beragama adalah sebagai berikut:
- Sensibilitas akan eksistensi Tuhan. Orang yang beragama matang selalu tersambung hati dan pikirannya dengan Tuhan. Oleh karena selalu tersambung dengan Tuhan, perilaku orang yang beragama matang akan melahirkan kedamaian, ketenangan batin yang mendalam dan terhindar dari keburukan-keburukan hidup.
- Kesinambungan dengan Tuhan dan penyerahan diri pada-Nya. Poin kedua ini merupakan konsekuensi dari yang pertama, di mana orang beragama matang secara sadar dan tanpa paksaan menyesuaikan hidupnya dengan kehendak Tuhan, yakni kebajikan karena Tuhan adalah Maha Baik. Orang yang beragama matang terbebas dari ego yang selalu membisikan orang pada kejahatan-kejahatan baik secara intra maupun inter personal.
- Penyerahan diri. Sikap beragama sebagai kepercayaan akan adanya ketertiban tak terlihat dan keinginan untuk hidup serasi dengan ketertiban itu. Hubungan manusia dengan realitas tak terlihat, agama, melahirkan efek kehidupan secara individual. Ia akan mengaktifkan energi spiritual dan menggerakkan karya spiritual. Orang yang beragama matang memiliki gairah hidup, dan memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang lazimnya dianggap biasa-biasa saja. James karenanya melihat agama sebagai sumber kebahagiaan, sehingga orang yang beragama matang menjalani kehidupannya dengan penuh kebahagiaan.
- Orang yang beragama matang mengalami perubahan dari emosi menjadi cinta dan harmoni. Orang yang beragama matang mencapai perasaan tenteram dan damai, di mana cinta mendasari seluruh hubungan inter-personalnya. Oleh karena itu, orang beragama matang bebas dari rasa benci, prejudice, permusuhan, dan lain-lain, tetapi cinta dan harmoni merupakan dasar bagi kehidupan sosial atau inter-personalnya.
Ciri-ciri Kematangan Beragama
Sikap keberagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Menurut Rakhmat (2007), ciri-ciri kematangan beragama seseorang antara lain yaitu sebagai berikut:
- Menerima ajaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
- Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
- Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
- Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dan sikap hidup.
- Bersikap lebih terbuka dan wawasan lebih luas.
- Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
- Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
- Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
Faktor-faktor Kematangan Beragama
Menurut Raharjo (2012), kematangan beragama seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, barik dari dalam diri (intern) dan maupun dari luar (ekstern). Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan beragama adalah sebagai berikut:
a. Faktor diri sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua: kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan, ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, penuh keyakinan dan argumentatif, walaupun apa yang harus ia lakukan itu berbeda dengan tradisi yang mungkin mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam melakukan aktivitas keagamaan. Namun, bagi merak yang mempunyai pengalaman sedikit atau sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap. Faktor intern yang mempengaruhi sikap keberagamaan seseorang terdiri dari:
- Temperamen, tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang.
- Gangguan jiwa, orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
- Konflik dan keraguan, konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatik, agnotis, maupun ateis.
- Jauh dari Tuhan, orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup terutama saat menghadapi musibah.
b. Faktor luar
Faktor dari luar yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang. Faktor-faktor antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Berkaitan dengan sikap keberagamaan terdapat dua faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu:
- Musibah, sering kali musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang, dan keguncangan tersebut sering kali memunculkan kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
- Kejahatan, mereka yang hidup dalam hitam biasanya mengalami guncangan batin dan rasa dosa. Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan yang bersifat kompensatif, seperti melupakan sejenak dengan berfoya-foya dan sebagainya. Tidak jarang pula melakukan pelampiasan dengan tindakan brutal, pemarah dan sebagainya.
Daftar Pustaka
- Indirawati, Emma. 2006. Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Kecenderungan Strategi Coping. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, Vol.3.
- Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan.
- Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
- Ismail, Roni. 2012. Konsep Toleransi dalam Psikologi Agama (Tinjauan Kematangan Beragama). Jurnal Religi, Vol.III.
- Ahyadi, Abdul Aziz. 1995. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
- Raharjo. 2012. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Semarang: Pustaka Rizki Putra.