Akuntansi Syariah (Pengertian, Tujuan, Asas, dan Prinsip)

Daftar Isi

Akuntansi syariah adalah bentuk dekonstruksi akuntansi atau pencatatan, pengklasifikasian, peringkasan transaksi keuangan yang dikembangkan berlandaskan nilai, prinsip dan ketentuan syariah Islam sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Akuntansi syariah dikenal juga sebagai akuntansi Islam (Islamic Accounting). Akuntansi syariah diterapkan untuk mewujudkan terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transcendental dan teological.

Akuntansi Syariah (Pengertian, Tujuan, Asas, dan Prinsip)

Akuntansi syariah merupakan sub-sistem dari sistem ekonomi dan keuangan Islam, digunakan sebagai instrumen pendukung penerapan nilai-nilai Islami dalam ranah akuntansi. Akuntansi syariah dipandang sebagai konstruksi sosial masyarakat Islam guna menerapkan ekonomi Islam dalam kegiatan ekonomi. Akuntansi syariah bukanlah sebuah ilmu yang tercipta sebagai perlawanan terhadap teori akuntansi, namun merupakan sebuah penyempurnaan sekaligus ikatan dari sistem pencatatan aktivitas syariah sebuah usaha.

Akuntansi syariah adalah suatu proses, metode, dan teknik pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran transaksi, dan kejadian-kejadian yang bersifat keuangan dalam satuan uang, guna mengidentifikasikan, mengukur, dan menyampaikan informasi suatu entitas ekonomi yang pengelolaan usahanya berlandaskan syariah, untuk dapat digunakan sebagai bahan mengambil kebijakan ekonomi dan memilih alternatif-alternatif tindakan bagi para pemakainya.

Pengertian Akuntansi Syariah 

Berikut definisi dan pengertian akuntansi syariah dari beberapa sumber buku dan referensi: 

  • Menurut Harahap (2001), akuntansi syariah adalah bidang baru dalam studi akuntansi yang dikembangkan berlandaskan nilai-nilai, etika dan syariah Islam, oleh karenanya dikenal juga sebagai akuntansi Islam (Islamic Accounting). 
  • Menurut Nurhayati dan Wasilah (2014), akuntansi syariah adalah proses akuntansi atas transaksi-transaksi yang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Akuntansi syariah diperlukan untuk mendukung kegiatan sesuai syariah, karena tidak mungkin dapat menerapkan akuntansi yang sesuai syariah jika transaksi yang akan dicatat tidak sesuai dengan syariah. 
  • Menurut Triyuwono (2012), akuntansi syariah adalah salah satu dekonstruksi akuntansi modern kedalam bentuk yang humanis dan syarat nilai dimana tujuan diterapkannya akuntansi syariah adalah untuk mewujudkan terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transcendental dan teological. 
  • Menurut Sumar’in (2012), akuntansi syariah adalah proses pencatatan, pengklasifikasian, peringkasan transaksi keuangan yang diukur dalam satuan uang serta pelaporan hasil-hasilnya berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Tujuan Akuntansi Syariah 

Akuntansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders atau entity-nya dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, jika ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horizontal (hablum min al-nas). Akuntansi syariah mempunyai kelebihan keterpercayaan dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya.

Usaha untuk memberikan warna lain agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akuntansi. Islamisasi akuntansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akuntansi syariah. Dengan akuntansi syariah ini berarti akuntansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).

Akuntansi syariah diperlukan untuk mendukung kegiatan yang harus dilakukan sesuai syariah. Dengan berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah, akuntansi syariah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam praktiknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horizontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung-jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah).

Menurut Wiroso (2011), tujuan yang ingin dicapai dalam menyusun laporan keuangan berdasarkan prinsip syariah adalah untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Adapun beberapa tujuan dari akuntansi berbasis syariah adalah sebagai berikut: 

  1. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha. 
  2. Informasi kepatuhan entitas syariah terhadap prinsip syariah, serta informasi aset, kewajiban, pendapatan dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah bila ada dan bagaimana perolehan dan penggunaannya. 
  3. Informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab entitas syariah terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikannya pada tingkat keuntungan yang layak. 
  4. Informasi mengenai tingkat keuntungan investasi yang diperoleh penanam modal dan pemilik dana syirkah temporer, dan informasi mengenai pemenuhan kewajiban (obligation) fungsi sosial entitas syariah, termasuk pengelolaan dan penyaluran zakat, infak, sedekah dan wakaf.

Adapun menurut Sumar’in (2012), tujuan akuntansi syariah adalah: 

  1. Menentukan hak dan kewajiban pihak terkait termasuk hak dan kewajiban yang berasal dari transaksi yang belum selesai dan atau kegiatan ekonomi lain, sesuai dengan prinsip syariah.
  2. Menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat bagi pemakai laporan untuk mengambil keputusan. 
  3. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha.

Asas Akuntansi Syariah 

Menurut Agriyanto (2011), terdapat lima asas terkait akuntansi syariah yaitu keadilan, persaudaraan, keseimbangan), universalisme dan kemaslahatan. Adapun penjelasan dari ke lima asas akuntansi syariah tersebut adalah sebagai berikut:

a. Keadilan (‘adalah) 

Adil dalam memberikan, menempatkan dan memperlakukan sesuai posisinya. Dalam kegiatan usaha, asas keadilan melarang riba, merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (zalim), unsur ketidakjelasan (gharar), unsur judi dan sifat spekulatif (maysir), haram (baik dalam jasa maupun barang serta kegiatan operasional).

b. Persaudaraan (ukhuwah) 

Persaudaraan adalah menjalani hubungan secara universal dengan saling tolong menolong. Prinsip-prinsipnya meliputi saling berealisasi dan bersinergi, saling menolong, saling mengenal, saling menjamin dan saling memahami. Dalam transaksi syariah tidak memperbolehkan mencari keuntungan di atas kerugian orang lain karena dalam mendapatkan sharing economic atau manfaat, transaksi syariah menjunjung tinggi sebuah nilai kebersamaan.

c. Keseimbangan (tawazun) 

Keseimbangan dilakukan baik dari aspek privat dan publik, material dan spiritual, bisnis dan sosial, aspek pemanfaatan dan pelestarian, sektor keuangan dan sektor riil. Selain itu, keuntungan transaksi syariah yang diperoleh dari menekankan pada maksimalisasi keuntungan dapat dirasakan oleh semua pihak.

d. Universalisme (syumuliyah) 

Universalisme hakikatnya tanpa membedakan ras, golongan, suku dan agama, yang disesuaikan dengan rahmatan lil’alamin atau semangat kerahmatan semesta, sehingga dapat dilakukan semua pihak yang memiliki kepentingan (stakeholder).

e. Kemaslahatan (mashlalah) 

Kemaslahatan hakikatnya merupakan segala wujud manfaat dan kebaikan yang berdasarkan aspek duniawi dan ukrawi, individual dan kolektif, serta materiil dan spiritual. Agar diakui kemaslahatannya maka harus terpenuhinya dua unsur yaitu membawa kebaikan (thayyib) dalam semua aspek secara menyeluruh yang tidak menyebabkan kemudharatan, serta bermanfaat dan kepatuhan syariah (halal). Secara keseluruhan unsur-unsur yang menjadi tujuan maqasid syariah atau ketetapan syariah yang berupa pemeliharaan terkait keimanan, akidah dan ketaqwaan (din), harta benda (mal), akal (‘aql), jiwa dan keselamatan (nafs), dan keturunan (nasl), yang mana unsur tersebut harus dipenuhi supaya transaksi syariah dapat dianggap bermaslahat.

Prinsip Akuntansi Syariah 

Menurut Muhammad (2005), terdapat tiga prinsip utama dalam akuntansi syariah, yaitu pertanggung jawaban, keadilan, dan kebenaran. Ketiga nilai tersebut telah menjadi prinsip dasar yang universal dalam operasional akuntansi syariah. Adapun penjelasan dari ke tiga prinsip dasar dari akuntansi syariah adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Pertanggungjawaban 

Prinsip pertanggungjawaban (accountability) merupakan konsep yang tidak asing lagi di kalangan masyarakat muslim. Pertanggung-jawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan sang Khaliq mulai dari dalam kandungan. Banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah di muka bumi. Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dalam praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait. Wujud pertanggungjawabannya dalam bentuk laporan akuntansi.

b. Prinsip Keadilan 

Prinsip keadilan sesuai dengan ayat 282 surat Al-Baqarah secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahaan dicatat dengan benar. Misalnya, bila nilai transaksi adalah sebesar Rp 100juta, maka akuntansi (perusahaan) akan mencatat dengan jumlah yang sama. Dengan kata lain, tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan. Dengan demikian, kata keadilan dalam konteks aplikasi akuntansi mengandung dua pengertian, yaitu: pertama, adalah berkaitan dengan praktik moral, yaitu kejujuran, yang merupakan faktor yang sangat dominan. Tanpa kejujuran ini, informasi akuntansi yang disajikan akan menyesatkan dan sangat merugikan masyarakat. Kedua, kata adil bersifat lebih fundamental (dan tetap berpijak pada nilai-nilai etika/syariah dan moral). Pengertian dua inilah yang lebih merupakan sebagai pendorong untuk melakukan upaya-upaya dekonstruksi terhadap bangun akuntansi modern menuju pada bangun akuntansi yang lebih baik.

c. Prinsip Kebenaran 

Prinsip kebenaran ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh misalnya, dalam akuntansi kita selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, dan pelaporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran. Kebenaran ini dapat diciptakan keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan transaksi-transaksi ekonomi.

Adapun menurut Nurhayati dan Wasilah (2014), prinsip-prinsip akuntansi dan laporan keuangan syariah berdasarkan Al-Qur’an dan As-sunah adalah sebagai berikut

a. Pelarangan Riba 

Riba (dalam bahasa Arab) didefinisikan sebagai kelebihan atas sesuatu akibat penjualan ataupun pinjaman. Riba/Ribit (bahasa Yahudi) telah dilarang tanpa adanya perbedaan pendapat di antara para ahli fikih. Riba merupakan pelanggaran atas sistem keadilan sosial, persamaan dan hak atas barang. Oleh karena sistem riba ini hanya menguntungkan para pemberi pinjaman/pemilik harta, sedangkan pengusaha tidak diperlakukan sama. Padahal untung itu baru diketahui setelah berlalunya waktu bukan hasil penetapan di muka.

b. Pembagian Risiko 

Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pelarangan riba yang menetapkan hasil bagi pemberi modal di muka. Sedangkan melalui pembagian risiko maka pembagian hasil akan dilakukan di belakang yang besarnya tergantung dari hasil yang diperoleh. Hal ini juga membuat kedua belah pihak akan saling membantu untuk bersama-sama memperoleh laba, selain lebih mencerminkan keadilan.

c. Tidak Menganggap Uang sebagai Modal Potensial 

Dalam masyarakat industri dan perdagangan yang sedang berkembang sekarang ini (konvensional), fungsi uang tidak hanya sebagai modal potensial. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang dipandang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang dijadikan sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba). Sedang dalam fungsinya sebagai modal nyata (capital), uang dapat menghasilkan sesuatu (bersifat produktif) baik menghasilkan barang maupun jasa. Oleh sebab itu, sistem keuangan Islam memandang uang boleh dianggap sebagai modal kalau digunakan bersamaan dengan sumber daya yang lain untuk memperoleh laba.

d. Larangan Melakukan Kegiatan Spekulatif 

Hal ini sama dengan pelarangan untuk transaksi yang memiliki tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi, judi dan transaksi yang memiliki risiko yang sangat besar.

e. Kesuaian Kontrak 

Oleh karena Islam menilai perjanjian sebagai suatu yang tinggi nilainya sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapan yang terkait dengan kontrak harus dilakukan. Hal ini akan mengurangi risiko atas informasi yang asimetri dan timbulnya moral hazard.

f. Aktivitas Usaha Harus Sesuai Syariah 

Seluruh kegiatan usaha tersebut haruslah merupakan kegiatan yang diperbolehkan menurut Syariah. Dengan demikian, usaha seperti minuman keras, judi, peternakan babi yang haram juga tidak boleh dilakukan.

Daftar Pustaka

  • Harahap, S.S. 2001. Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam. Jakarta: Pustaka Quantum. 
  • Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2014. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. 
  • Wiroso. 2011. Akuntansi Transaksi Syariah. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.
  • Agriyanto, Ratno. 2011. Analisis Kesiapan Pelaku Ekonomi Syari’ah Dalam Menghadapi Pelaksanaan Wajib Audit. Jurnal at-Taqaddum, Vol.3, No.1.
  • Triyuwono, Iwan. 2012. Akuntansi Syariah perspektif, Metodologi, dan Teori. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Sumar'in. 2012. Konsep Kelembagaan Bank Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
  • Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMPYKPN.