Konflik Perkawinan - Pengertian, Jenis, Bentuk dan Penyelesaian

Daftar Isi

Konflik pernikahan atau perkawinan adalah konflik yang melibatkan pasangan suami istri karena adanya ketidak-sesuaian tendensi-tendensi perilaku, tujuan atau tuntutan. Konflik perkawinan bermula dari ketidak-cocokan individu yang membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang unik dan berbeda. Konflik perkawinan dapat diamati melalui perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis ketika sedang menghadapi konflik.

Konflik Perkawinan - Pengertian, Jenis, Bentuk dan Penyelesaian

Konflik perkawinan merupakan suatu ketidak-cocokan karena adanya perbedaan pendapat dan pemahaman maupun harapan pada pasangan suami istri baik dalam hal ekonomi, pengasuhan, hubungan dengan keluarga besar, rekreasi, pembagian kerja dalam rumah tangga, dan berbagai masalah dalam perkawinan.

Konflik perkawinan dapat dilatar-belakangi faktor-faktor pemicu (trigger) yang menimbulkan dampak signifikan terhadap sebuah ikatan perkawinan. Adanya suatu indikasi konflik dalam rumah tangga adalah manakala komunikasi diantara suami istri tidak berjalan, dan pola interaksi yang terbangun di antara keduanya memiliki kondisi yang menegangkan.

Pengertian Konflik Perkawinan 

Berikut definisi dan pengertian konflik pernikahan atau perkawinan dari beberapa sumber buku dan referensi: 

  • Menurut Sadarjoen (2005), konflik perkawinan adalah konflik yang melibatkan pasangan suami istri di mana konflik tersebut memberikan efek atau pengaruh yang signifikan terhadap relasi kedua pasangan. 
  • Menurut Finchman (1999), konflik perkawinan adalah keadaan suami istri yang sedang menghadapi masalah dalam perkawinannya dan hal tersebut nampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis ketika sedang menghadapi konflik. 
  • Menurut Abigael Wohing Ati (1999), konflik perkawinan adalah ketidak-sesuaian tendensi-tendensi perilaku, tujuan atau ketidak-seimbangan pertukaran antara suami istri. Konflik tidak selalu di manifestasi-kan ke dalam perilaku yang dapat diamati. 
  • Menurut Lestari (2012), konflik perkawinan adalah adanya ketidak-cocokan, baik ketidak-cocokan karena berlawanan maupun karena perbedaan yang berpangkal pada ketimpangan perbedaan nilai dan identitas, tuntutan-tuntutan, beradaptasi, kesalahan persepsi dan komunikasi. 
  • Menurut Lasswell dan Laswell (1987), konflik perkawinan adalah konflik yang terjadi dalam perkawinan yang disebabkan karena masing-masing individu membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang unik dan berbeda.

Bentuk dan Jenis Konflik Perkawinan 

Menurut Dewi (2008), adanya konflik perkawinan atau pernikahan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk, antara lain yaitu sebagai berikut: 

  1. Partner violence. Kekerasan fisik pada pasangan, yang di tandai dengan adanya perilaku yang menunjukkan kekerasan fisik dari salah satu pasangan kepada pasangannya, atau kedua pasangan tersebut menunjukkan kekerasan fisik. 
  2. Verbal aggression. Kekerasan secara verbal di tandai dengan adanya perilaku yang menunjukkan penghinaan, kecaman atau ancaman yang dilontarkan oleh salah satu pasangan kepada pasangannya.
  3. Unbending stance. Sikap bertahan sebagai bentuk upaya membela diri saat konflik terjadi atau upaya mempertahankan diri atas serangan umpatan dari pasangannya. 
  4. Withdrow from partner. Menarik diri dari interaksi pasangannya, yaitu perilaku yang menunjukkan penghindaran dengan pasangannya dan biasanya pasangannya menunjukkan perilaku diam seribu bahasa.

Adapun menurut Sadarjoen (2005), konflik perkawinan atau pernikahan dapat dibagi dalam beberapa jenis atau kategori, yaitu sebagai berikut: 

  1. Zero-sum dan Motive Conflict. Dalam sebuah konflik, kedua belah pihak tidak biasa kalah, hal ini disebut Zero Sum. Sedangkan Motif konflik terjadi karena salah satu pasangan mengharapkan mendapat keuntungan lebih dari apa yang diberikan pasangannya, tetapi mereka tidak berharap untuk menghabisi secara total, pasangannya sebagai lawan. 
  2. Personality Based dan Situational Conflict. Konflik pernikahan sering disebabkan oleh konflik situasional dan konflik atas dasar perbedaan kepribadian. Sebaiknya suami dan istri saling memahami kebutuhan masing-masing dan saling memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas lain.
  3. Basic dan Non-basic Conflict. Konflik yang terjadi akibat perubahan situasional disebut non basic conflict. Namun apabila konflik tersebut berangkat dari harapan-harapan pasangan suami-istri dalam masalah seksual dan ekonomi disebut sebagai basic conflict. 
  4. Konflik yang Tidak Terelakkan. Keinginan manusia yang cenderung untuk mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin dan dengan biaya yang se-minimal mungkin akan menimbulkan konflik yang tak terelakkan dalam sebuah relasi sosial seperti pernikahan.

Aspek-aspek Konflik Perkawinan 

Menurut Sadarjoen (2005), konflik perkawinan atau pernikahan merupakan bentuk dinamika dalam rumah tanggal yang dapat dipengaruhi beberapa aspek, yaitu sebagai berikut:

a. Kekuasaan dan Kendali (Power and Control) 

Sebuah upaya dari kedua pasangan perkawinan untuk mengetahui siapa di antara mereka yang akan mendominasi kehidupan perkawinan dan yang akan mengendalikan berfungsinya area-area perkawinan tertentu. Dalam hal ini pasti akan menguntungkan ketika akan muncul sebuah konflik dalam perkawinan dikarenakan ada pasangan yang mempunyai peran secara dominan sehingga dapat meredakan dan mencari keseimbangan antar kedua pasangan.

b. Pelayanan (Nature) 

Pelayanan yang dimaksud di sini adalah sebagai suatu perkara yang menjabarkan siapa yang memperhatikan siapa dan siapa yang lebih besar daripada siapa yang mengendalikan siapa dan dalam arah apa, baik itu mencangkup dalam hal pelayanan fisik ataupun emosional yang harus ketemu di satu titik. Bahkan aspek ini lebih bisa menjadikan sumber stres dan konflik yang berkelajutan. Hal penting yang harus diketahui yakni bahwa setiap orang sangat membutuhkan naturing, sehingga dapat mengurangi potensi-potensi konflik terhadap pasangan dalam menjalani perkawinan.

c. Keintiman-privasi (Intimacy-privacy) 

Keintiman dapat dikatakan sebagai kebutuhan akan kedekatan dan kontak baik dalam aspek fisik maupun emosional, masalah ini berkaitan dengan masalah kebutuhan untuk kebersamaan. Sedangkan, di lain sisi privasi adalah sebagai bentuk kebutuhan untuk keter-pisahan. Namun, keduanya bukanlah bentuk yang dapat dikatakan sebagai eksklusif secara hakiki. Area keintiman dan privasi juga berguna untuk kebutuhan yang sama pada pasangan perkawinan dan akan menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga.

d. Kepercayaan (Trust) 

Perkara mengenai kepercayaan memiliki aspek yang spesifik dalam interaksi antar pasangan perkawinan. Namun, dapat dikatakan bahwa dasar isu utama dari kelangsungan perkawinan secara menyeluruh adalah kepercayaan. Banyak pasangan yang baru menjalani hubungan perkawinan sebenarnya memiliki latar belakang sejarah dengan aspek kepercayaan yang dikhianati. Maka, dari itu tidak menutup sebuah kemungkinan bahwa pengalaman yang menyakitkan di masa lalu akan mungkin memiliki pengaruh yang penting bagi pembentukan sikap ketidakpercayaan pada siapapun termasuk pada pasangan kelak, yang memungkinkan hal tersebut yang menjadi sumber dari sebuah konflik perkawinan.

e. Kesetiaan (Fidelity) 

Kesetiaan yang dimaksud ialah memiliki implikasi yang menunjukkan kasih yang umum, kehormatan, keceriaan dan tidak menepatkan orang lain di atas pasangannya. Kesetiaan sering menjadi area konflik yang besar dalam perkawinan, akan tetapi tidak dalam pembahasan kesetiaan. Konflik marital (perkawinan) akan berkembang dari keter-ancaman hal kepercayaan dan kesetiaan yang tidak terkait dengan kepercayaan dan kesetiaan seksual.

f. Gaya Hidup dan Keteraturan 

Dalam hal ini gaya hidup dapat diartikan sebuah perbedaan cara menyelesaikan ataupun sebuah pola berpikir dalam menghadapi sesuatu seperti temperamen dan falsafah hidup, termasuk dalam perbedaan-perbedaan seperti dalam gaya kognitif, gaya saat mengatasi kecemasan, asertivitas, aktivitas dan keteraturan. Kemudian, keteraturan adalah hal-hal yang terkait dengan bagaimana kita memilih ke-urutan dari kehidupan-kehidupan kita dalam hal pengaturan spasial, waktu dan lain-lain. Misalkan seperti menggunakan asbak untuk abu rokok, kemampuan untuk tepat waktu dan kebiasaan menutup pasta gigi, bila ini dijalankan akan mempermudah menjalani kehidupan perkawinan.

Sumber Konflik Perkawinan 

Menurut Handayani, dkk (2008), terdapat lima sumber utama yang menjadi faktor penyebab terjadinya konflik perkawinan atau pernikahan, yaitu sebagai berikut:

a. Finansial 

Faktor finansial adalah tentang bagaimana seseorang bisa memenuhi kebutuhannya dari segi ekonomi dan keuangan. Pekerjaan yang tidak tetap juga bisa membuat adanya konflik karena kurangnya usia dan pendidikan pada seseorang dapat memengaruhi dari pendapatan dari orang tersebut. Tidak adanya kesiapan dan kurang matangnya untuk merencanakan persiapan finansial sebelum melakukan pernikahan.

b. Keluarga 

Adanya banyak tuntutan atau aturan dari masing-masing keluarga khususnya untuk orang tua yang harus dijalankan. Banyak keluhan yang dikeluhkan dan salah satu pasangan yang menikah dini yang masih sering membutuhkan bantuan dari keluarga. Keluarga pun selalu mem-backup anaknya, karena dari pihak keluarga sebenarnya masih belum bisa melepaskan anaknya sepenuhnya karena keluarga menganggap anaknya masih seperti anak kecil dan belum matang dalam mengurus kehidupan rumah tangganya. Ada pula kurang adanya kenyamanan atas hadirnya orang baru atau antara menantu dan mertua yang tinggal berdampingan.

c. Gaya komunikasi 

Terjadinya konflik perkawinan juga bisa dikarenakan tidak adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri. Maka dari itu akan terjadi kesalahpahaman antara suami dan istri apabila komunikasi tidak berjalan dengan lancar.

d. Tugas-tugas rumah tangga 

Tidak adanya kesiapan dalam mempersiapkan kehidupan berkeluarga. Maka pasangan tidak atau belum paham akan tugas dari masing-masing individu itu seperti apa dalam mengurus tugas-tugas rumah tangga karena mereka remaja yang di tuntut untuk bisa menjalankan tugas-tugas rumah tangga seperti layaknya pasangan yang sudah memang benar siap untuk menikah dari segi umur, fisik, psikis, maupun mental.

e. Selera pribadi 

Terjadinya konflik perkawinan karena adanya selera pada masing-masing individu seperti pada saat membeli sesuatu barang kesukaan atau bahkan bisa juga hobi yang berbeda dari masing-masing individu pasangan yang menikah dini.

Strategi Penyelesaian Konflik Perkawinan 

Menurut Handayani, dkk (2008), terdapat beberapa langkah yang dapat dijalankan sebagai strategi untuk menyelesaikan konflik dalam pernikahan atau perkawinan, tahapan-nya adalah sebagai berikut:

a. Penjelasan permasalahan 

Munculnya konflik biasanya diawali dengan adanya kesalahpahaman. Seringkali orang bertengkar mengenai suatu hal yang tidak ia setujui, tetapi masih terbatas pada pemikirannya. Oleh sebab itu, seringkali permasalahan yang dipikirkan satu orang berbeda dengan yang dipikirkan orang lain. Tanpa ada pemahaman yang sama mengenai duduk perkara yang sesungguhnya, tentu akan sulit untuk menemukan resolusi konflik yang sesuai. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam memperjelas permasalahan adalah: 

  1. Masing-masing pihak meluangkan waktu untuk introspeksi: apa yang sebenarnya mengganggu hubungan mereka, situasi apa yang memicu perasaan mereka, apa yang membuat perasaan mereka tidak nyaman, dan apa yang dapat dilakukan oleh masing-masing pihak untuk diri mereka sendiri. 
  2. Masing-masing pihak mencoba memahami apa yang disampaikan oleh pasangannya: mencoba melakukan cross check, apakah yang dipahami sesuai dengan apa yang sebenarnya disampaikan oleh pihak lain. 
  3. Masing-masing pihak harus fokus pada permasalahan.
  4. Setiap pasangan harus merangkum apa yang disampaikan oleh pasangannya setelah berbicara.

b. Menemukan apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak 

Setelah berhasil merumuskan inti permasalahan yang dihadapi, harus diidentifikasi apa yang diinginkan dari masing-masing pihak. Tanpa tahap ini, negosiasi yang dilakukan tidak akan memuaskan semua pihak dan mendorong timbulnya pertengkaran yang berulang-ulang. Tahap ini kadang kala sulit dilakukan, karenanya masing-masing harus dapat memfasilitasi pasangannya untuk mengekspresikan perasaan dan keinginannya.

c. Mengidentifikasi alternatif solusi yang beragam 

Pada tahap ini masing-masing harus mencari alternatif penyelesaian konflik. Langkah ini bisa mengarahkan pada insight baru. Brainstorming dapat menjadi proses yang menyenangkan dan kreatif karena masing-masing bekerjasama untuk mencari jalan keluar.

d. Menentukan bagaimana bernegosiasi 

Setelah beragam alternatif solusi dikumpulkan, maka dicoba membuat kesepakatan atau rencana untuk dilakukan perubahan ke arah yang lebih baik melalui negosiasi.

e. Solidifying Agreement 

Ketika kesepakatan sudah mulai dicapai maka masing-masing pihak harus memahami dengan jelas apa saja yang sudah disepakati. Masing-masing harus memegang komitmen dan saling memberikan dukungan untuk melakukan kesepakatan yang telah dibuat.

f. Reviewing and Renegotiation 

Kesepakatan yang sudah dibuat kadangkala tidak benar-benar dapat menyelesaikan konflik yang dihadapi. Hal ini kadang membuat individu kecewa dan kesulitan untuk menyelesaikan konflik yang dihadapi selanjutnya. Padahal sebenarnya hal ini tidak harus terjadi, bila masing-masing menyadari bahwa kesepakatan yang sudah dibuat bisa saja kurang berhasil. Setidaknya hal tersebut sudah merupakan pengalaman yang sangat berarti dimana individu yang bersangkutan dapat belajar banyak dalam menyelesaikan konflik dengan cara yang lebih baik di kemudian hari.