Subjective Well Being - Pengertian, Aspek, dan Komponen

Daftar Isi

Subjective well being adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap pengalaman hidupnya, dimana evaluasi dapat bersifat positif dan negatif, meliputi kepuasan hidup, kegembiraan dan kesedihan, perasaan pemenuhan, kepuasan dengan pekerjaan, hubungan, kesehatan, rekreasi, dan hal-hal penting lainnya. Seseorang dikatakan memiliki subjective well being yang tinggi adalah ketika mereka banyak merasakan emosi yang menyenangkan dan sedikit merasakan emosi yang tidak menyenangkan.

Subjective Well Being - Pengertian, Aspek, dan Komponen

Subjective well being merupakan persepsi dan evaluasi subjektif seseorang akan pengalaman hidup yang melibatkan emosi menyenangkan dan tidak menyenangkan. Evaluasi subyektif kehidupan termasuk konsep-konsep seperti kepuasan hidup, emosi menyenangkan, fulfilment, kepuasan terhadap area-area seperti pernikahan dan pekerjaan. Seseorang dikatakan mempunyai subjective well being yang tinggi apabila lebih banyak merasakan emosi positif dan sedikit emosi negatif.

Subjective well being juga diartikan sebagai suatu kemampuan seseorang ketika mengalami kemudian mengevaluasi kehidupan mereka dalam menjalankan aktivitas sehari-hari yaitu dengan cara menyeimbangkan emosi positif seperti kegembiraan, kelegaan hati, kasih sayang dan negatif seperti ketakutan, kemarahan kesedihan. Subjective well being merupakan perasaan bahagia individu setelah melakukan evaluasi dan kepuasan dalam diri selama menjalani kehidupan, yang ditandai dengan tingginya tingkat afeksi positif dan rendahnya afeksi negatif.

Subjective well being merupakan suatu ungkapan perasaan individu mengenai kehidupannya di dalam berbagai keadaan yang terjadi dan dialami, baik itu dilihat berdasarkan kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup. Individu dengan tingkat subjective well being yang tinggi akan merasa lebih percaya diri, dapat menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan performansi kerja yang lebih baik. Selain itu dalam keadaan yang penuh tekanan, individu dengan tingkat subjective well being yang tinggi dapat melakukan adaptasi dan coping yang lebih efektif terhadap keadaan tersebut sehingga merasakan kehidupan yang lebih baik.

Pengertian Subjective Well Being 

Berikut definisi dan pengertian subjective well being dari beberapa sumber buku dan referensi:

  • Menurut Snyder dan Lopez (2002), subjective well being adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup.
  • Menurut Diener dan Scollon (2003), subjective well being adalah evaluasi subjektif masyarakat terhadap hidup individu, yang meliputi konsep seperti kepuasan hidup, emosi yang menyenangkan, perasaan pemenuhan, kepuasan dengan domain seperti perkawinan, pekerjaan dan tinggi rendahnya situasi emosi. 
  • Menurut Diener dan Ryan (2009), subjective well being adalah tingkat kesejahteraan yang dialami orang berdasarkan evaluasi subjektif dalam hidup mereka. Evaluasi ini yang dapat bersifat positif dan negatif, termasuk penilaian dan keterlibatan kepuasan hidup, reaksi afektif seperti kegembiraan dan kesedihan terhadap peristiwa kehidupan, dan kepuasan dengan pekerjaan, hubungan, kesehatan, rekreasi, makna, dan tujuan, dan hal-hal penting lainnya.
  • Menurut Compton (2005), subjective well being adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup dan merepresentasikan dalam kesejahteraan psikologis.

Teori Subjective Well Being 

Menurut Diener dan Suh (2000), terdapat dua jenis pendekatan atau teori yang menjelaskan mengenai subjective well being, yaitu sebagai berikut:

a. Bottom up theories 

Teori memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup yang dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Teori ini beranggapan bahwa perlunya mengubah lingkungan dan situasi yang akan mempengaruhi pengalaman individu, misalnya pekerjaan yang memadai, lingkungan rumah yang aman, serta pendapatan yang layak untuk meningkatkan subjective well being.

b. Top down theories 

Subjective well being yang dialami seseorang tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan menginterpretasi suatu peristiwa atau kejadian dalam sudut pandang yang positif. Teori ini menganggap bahwa, individu memegang kendali atas setiap peristiwa yang dialami, apakah peristiwa tersebut akan menciptakan kesejahteraan psikologis bagi dirinya atau sebaliknya. Pendekatan ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara-cara yang digunakan untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk meningkatkan subjective well being diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian seseorang.

Komponen Subjective Well Being 

Menurut Eddington dan Shuman (2008), terdapat dua komponen utama dalam subjective well being, yaitu sebagai berikut:

a. Komponen Kognitif 

Komponen kognitif adalah evaluasi dari kepuasan hidup seseorang. Kepuasan hidup diartikan sebagai evaluasi kognitif individu dalam menikmati pengalaman-pengalamannya di masa lalu dan sekarang. Individu yang puas memiliki penilaian bahwa apa yang sudah dicapai atau diperolehnya sudah sesuai dengan harapan atau cita-citanya dan memandang secara positif kehidupannya di masa yang akan datang. Kepuasan hidup terbagi menjadi dua jenis, yaitu: 

  1. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global (life satisfaction), yaitu evaluasi seseorang terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Kepuasan hidup secara global dimaksudkan untuk mempresentasikan penilaian seseorang secara umum dan reflektif terhadap kehidupannya. Kepuasan ini mencakup kepuasan pada kehidupan saat ini, kepuasan pada kehidupan masa lalu, kepuasan pada kehidupan masa depan, dan keinginan untuk mengubah hidup. 
  2. Evaluasi terhadap kepuasan pada domain tertentu (domain satisfaction), adalah penilaian yang dibuat seseorang dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya, seperti pekerjaan, keluarga, waktu luang, kesehatan, finansial, hubungan diri sendiri dengan orang lain.

b. Komponen Afektif 

Komponen afektif adalah reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Adapun penjelasan dari ke dua komponen afektif tersebut adalah: 

  1. Afek positif (possitive affect). Afek positif mempresentasikan mood dan emosi yang menyenangkan. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari subjective well being karena emosi-emosi tersebut merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Afek positif individu yang mempengaruhi level subjective well-being adalah hal-hal yang mencakup kesenangan (joy), kegirangan hati (elation), kepuasan (contentment), rasa harga diri (pride), rasa kasih sayang (affection), kebahagiaan (happiness), penuh perhatian (attentive), dan kegembiraan yang luar biasa (ecstasy). 
  2. Afek negatif (negative affect). Afek negatif adalah pravelensi dari emosi dan mood yang tidak menyenangkan dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai rekasinya terhadap kehidupan dan keadaan atau peristiwa yang dialami. Beberapa aspek negatif individu yang mempengaruhi level subjective well-being, yaitu rasa bersalah dan malu (guilt and shame), kesedihan (sadness), kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and worry), kemarahan (anger), tekanan (stress), depresi (depression) dan iri hati (envy).

Aspek-aspek Subjective Well Being 

Menurut Mujamiasih (2013), subjective well being terdiri dari enam aspek psikologis positif, yaitu; penerimaan diri, hubungan positif dengan sesama, autonomi, penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup, dan pertumbuhan pribadi. Adapun penjelasan dari aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:

a. Penerimaan diri 

Penerimaan diri adalah keadaan dimana seorang individu memiliki penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta mengakui segala kelebihan maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa merasa malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya. Seseorang yang memiliki penerimaan diri, ketika individu bisa menilai apapun yang dimilikinya yaitu menerima kekurangan dan kelebihan secara positif, tanpa rasa minder atau merasa rendah dari yang lain.

b. Hubungan positif dengan sesama 

Hubungan sosial yang baik merupakan sesuatu yang diperlukan, tapi tidak cukup untuk membuat subjective well being seseorang tinggi. Artinya, hubungan sosial yang baik tidak membuat seseorang memiliki subjective well being yang tinggi, namun seseorang dengan subjective well being yang tinggi memiliki ciri-ciri berhubungan sosial yang baik.

c. Autonomi 

Autonomi atau kemandirian merupakan kemampuan seseorang untuk berdiri di atas kaki sendiri, mengurus diri sendiri dalam semua aspek kehidupannya, ditandai adanya inisiatif, kepercayaan diri dan kemampuan mempertahankan diri dan hak miliknya. Seseorang dengan rasa percaya diri akan mengambil segala keputusan tanpa ragu atau bahkan melibatkan pemikiran orang lain. Selain itu mereka memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah lakunya, serta dapat mengevaluasi diri dengan personal secara umum.

d. Penguasaan lingkungan 

Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Individu dengan kemampuan mengendalikan aktifitas lingkungan, dapat bermanfaat bagi orang lain dan dapat menempatkan dirinya pada lingkungan yang membawa dampak baik baginya, menjadi patokan bahwa mereka menguasai lingkungan dengan baik. Sebaliknya seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya, kurang memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan.

e. Tujuan dalam hidup 

Makna hidup dengan tujuan hidup memiliki hubungan yang erat, hingga sering disama-artikan. Seseorang yang memiliki komitmen untuk menjalani hidupnya menjadi salah satu ciri seseorang yang dapat mengatasi masalahnya. Sedangkan orang yang komitmen dalam hidupnya kurang maka dia tidak mampu memaknai hidup.

f. Pertumbuhan pribadi 

Individu yang memiliki keyakinan bahwa kemampuan dapat mengontrol nasib sendiri atau bisa dikatakan bahwa seseorang yang sadar jika hasil jerih payahnya merupakan pengaruh dari besarnya pengorbanan selama proses kerja keras yang dilakukan, maka pertumbuhan pribadinya dapat berfungsi sesuai dengan seharusnya.

Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well Being 

Terdapat beberapa faktor yang dianggap dapat mempengaruhi subjective well being pada seseorang, antara lain yaitu sebagai berikut:

a. Pendidikan 

Ditemukan hubungan yang kecil namun signifikan antara pendidikan dengan subjective well being. Pendidikan lebih berhubungan dengan well being pada individu yang memiliki pendapatan lebih rendah dan juga pada negara yang miskin. Melalui pendidikan, individu dengan pendapatan lebih rendah membentuk minat yang lebih luas terhadap waktu luang. Sementara pada negara miskin, status sosial dapat disampaikan melalui pendidikan. Terdapat banyak hubungan antara pendidikan dengan subjective well being dimana pendidikan berhubungan dengan status pekerjaan dan juga pendapatan.

b. Pernikahan 

Individu yang tidak pernah menikah atau bercerai, berpisah, atau janda menunjukkan kebahagiaan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan individu yang menikah. Kebahagiaan secara signifikan berhubungan dengan well being bahkan jika usia ataupun pendapatan dikontrol. Penelitian menunjukkan bahwa wanita yang menikah secara konsisten lebih bahagia daripada wanita yang tidak menikah, begitu juga dengan pria yang menikah lebih bahagia daripada pria yang tidak menikah.

c. Agama dan spiritualitas 

Subjective well being berkaitan dengan kekuatan yang berelasi dengan Yang Maha Kuasa, dengan pengalaman berdoa, dan dengan keikutsertaan dalam aspek keagamaan. Agama juga menawarkan pemenuhan kebutuhan sosial seseorang melalui keterbukaan pada jaringan sosial yang terdiri dari orang-orang yang memiliki sikap dan nilai yang sama. Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan religius memberikan dukungan sosial komunitas bagi orang yang mengikutinya karena keterlibatan dalam kegiatan keagamaan seringkali dihubungkan dengan lifestyle yang secara psikologis dan fisik lebih sehat, yang dicirikan oleh prosocial altruistic behaviour, mengontrol diri dalam hal makanan dan minuman dan berkomitmen dalam bekerja keras.

d. Kepuasaan Kerja 

Kepuasan kerja memiliki hubungan yang kuat dengan kepuasan hidup pada wanita dalam beberapa dekade terakhir. Pekerjaan dianggap berhubungan dengan subjective well being karena pekerjaan menawarkan level stimulasi optimal sehingga individu dapat menemukan kesenangan. Selain itu, pekerjaan juga memberikan hubungan sosial yang positif, dan rasa serta arti akan diri, dimana hal ini berhubungan dengan subjective well being.

e. Waktu Luang 

Kebahagiaan berhubungan dengan kepuasan akan waktu luang dan juga level aktivitas waktu. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa subjective well being meningkat karena adanya kepuasan akan waktu luang. Bukti yang kuat bahwa subjective well being berhubungan dengan kepuasan akan waktu luang dapat dilihat dari pengaruh olah raga atau bentuk kegiatan lainnya. Olah raga dan latihan efektif sebagian karena menghasilkan endorphin, interaksi sosial dengan individu lain, dan mengalami kesuksesan atau self-efficacy.

f. Hubungan sosial 

Berdasarkan penelitian menunjukkan penyebab utama dari kegembiraan, yakni hubungan dengan teman, kepuasan yang bersifat dasar (makan, minum, dan seks), dan juga kesuksesan. Larson menyatakan bahwa mood yang lebih positif ditemukan pada individu saat bersama dengan temannya dibandingkan jika ia sendirian atau bersama keluarganya, dan kebahagiaan juga berhubungan dengan jumlah teman, frekuensi jumpa dengan teman, pergi ke pesta dan menari, dan termasuk ke dalam kelompok atau klub.