Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Anak Tunagrahita (Pengertian, Karakteristik, Klasifikasi, Penyebab dan Permasalahan)

Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut individu yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) secara signifikan di bawah rata-rata karena adanya hambatan masa perkembangan, mental, emosi, sosial dan fisik sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan mental, yang perlu dididik dan dilatih untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Mereka membutuhkan dukungan yang lebih dari orang tua dan lingkungannya agar bisa hidup mandiri. Oleh karena itu, anak tunagrahita membutuhkan layanan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan mereka.

Anak Tunagrahita (Pengertian, Karakteristik, Klasifikasi, Penyebab dan Permasalahan)

Menurut WHO (World Health Organization) anak tunagrahita adalah anak yang memiliki dua komponen esensial, yaitu fungsi intelektual secara nyata berada dibawah rata-rata dan adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan menurut American Association on Mental Deficiency (AAMD) mendefinisikan tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata, yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes dan muncul sebelum usia 16 tahun (Amin, 1995).

Berikut definisi dan pengertian tunagrahita dari beberapa sumber buku: 
  1. Menurut Delphie (2006), tunagrahita adalah anak yang memiliki problema belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan inteligensi, mental, emosi, sosial dan fisik.
  2. Menurut Somantri (2006), tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. 
  3. Menurut Wardani (1996), tunagrahita adalah anak yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) secara signifikan berada di bawah rata-rata (normal) yang disertai dengan ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan semua ini berlangsung pada masa perkembangan.
  4. Menurut Aproditta (2012), tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.

Karakteristik dan Ciri Tunagrahita 

Tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal. Menurut Somantri (2006), karakteristik anak tunagrahita adalah sebagai berikut:

a. Keterbatasan Inteligensi 

Inteligensi merupakan kemampuan untuk mempelajari informasi dan ketrampilan-ketrampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam hal tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti menulis, berhitung, dan membaca juga sangat terbatas.

b. Keterbatasan Sosial 

Disamping memiliki keterbatasan inteligensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dan bergaul di masyarakat. Oleh karena itu mereka memerlukan bantuan dari orang lain untuk membantu mereka berinteraksi dengan lingkungan. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.

c. Keterbatasan Fungsi Mental 

Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi suatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama.

Anak tunagrahita juga memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Karena alasan itu mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya. Persamaan dan perbedaan harus ditujukan secara berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, perlu menggunakan pendekatan yang konkrit. Selain itu mereka juga kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan yang baik dan yang buruk.

Selain itu menurut Nur'aeni (1997), anak tunagrahita juga memiliki beberapa karakteristik atau ciri-ciri, yaitu sebagai berikut: 
  1. Perkembangan senantiasa tertinggal dibanding teman sebayanya.
  2. Tidak mampu mengubah cara hidupnya, ia cenderung rutin. Jika terjadi hal baru di lingkungannya, ia menjadi bingung dan risau. 
  3. Perhatiannya tidak dapat bertahan lama, amat singkat. 
  4. Kemampuan berbahasa dan berkomunikasinya terbatas, umumnya anak gagap.
  5. Sering tidak mampu menolong diri sendiri. 
  6. Motif belajarnya rendah sekali. 
  7. Irama perkembangannya tidak rapi, suatu saat meningkat tinggi, tapi saat yang lain menurun drastis.
  8. Tidak peduli pada lingkungan.

Klasifikasi Tunagrahita 

Pengelompokan anak tunagrahita pada umumnya berdasarkan pada taraf intelegensinya. Menurut Somantri (2006), anak tunagrahita dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu:

a. Tunagrahita Ringan 

Tunagrahita ringan disebut juga maron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet. Sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) Anak tunagrahita ringan merupakan salah satu klasifikasi anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan intelektual/ IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana sampai tingkat tertentu. Biasanya hanya sampai pada kelas IV sekolah dasar (SD).

Melalui bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak terbelakang mental ringan dapat dilatih menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika dilatih dan bimbingan dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan.

b. Tunagrahita Sedang 

Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 menurut Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat didik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya.

Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka masih dapat menulis secara sosial, misalnya menulis namanya sendiri, alamat rumahnya, dan lain-lain. Masih dapat dididik mengurus diri, seperti mandi, berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus-menerus. Mereka juga masih dapat bekerja ditempat kerja terlindung (sheltered workshop).

c. Tunagrahita Berat 

Kelompok anak tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menurut Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut Skala Weschler (WISC). Kemampuan mental atau MA maksimal yang dapat dicapai kurang dari tiga tahun atau empat tahun.

Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya. Perawatan khusus dan keikhlasan dari keluarga sangat dibutuhkan oleh mereka. Biasanya keadaan idiot ini diikuti dengan berbagai kelainan dan kelemahan dalam fungsi tubuh lainnya. Mereka perlu perawatan khusus dan dibantu dalam setiap aktivitasnya. Untuk bertahan hidup saja rasanya membutuhkan banyak bantuan.

Menurut Aqila (2010), selain dibedakan berdasarkan tingkat intelegensinya, anak tunagrahita juga diklasifikasikan berdasarkan tipe klinis, yaitu sebagai berikut:

a. Down Syndrom (dahulu disebut mongoloid) 

Anak tunagrahita jenis ini disebut demikian karena raut mukannya seolah-olah menyerupai orang mongol dengan ciri-ciri: bermata sipit dan miring, lidah tebal dan berbelah, biasanya suka menjulur ke luar, telinga kecil, tangan kering, makin dewasa kulitnya semakin kasar, kebanyakan mempunyai susunan gigi geligi yang kurang baik sehingga berpengaruh pada pencernaan, dan lingkar tengkoraknya biasanya kecil.

b. Kretin 

Dalam bahas Indonesia disebut kate atau cebol. Ciri-cirinya: badan gemuk dan pendek, kaki dan tangan pendek dan bengkok, badan dingin, kulit kering, tebal dan keriput, rambut kering, lidah dan bibir tebal, kelopak mata, telapak tangan, dan kuduk tebal, pertumbuhan gigi terlambat, serta hidung lebar.

c. Hydrocypal 

Anak ini memiliki ciri-ciri: kepala besar, raut muka kecil, tengkoraknya ada yang membesar ada yang tidak, pandangan dan pendengaran tidak sempurna, mata kadang-kadang juling.

d. Microcephal, Macrocephal, Brahicephal, dan Scaphocepal 

Keempat istilah tersebut menunjukkan bentuk dan ukuran kepala. Seorang dengan tipe Microcephal memiliki ukuran kepala yang kecil. Kebanyakan dari mereka menyandang tunagrahita yang berat atau sedang. Namun penderita Macrocephal kebanyakan tidak menyusahkan orang, dengan ukuran kepala besar. Sedangkan penderita Brahicephal memili ukuran kepala yang panjang, dan Scaphocepal memiliki ukuran kepala yang lebar.

Faktor Penyebab Tunagrahita 

Menurut Apriyanto (2012), terdapat berbagai faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tunagrahita, antara lain yaitu sebagai berikut: 
  1. Faktor Keturunan. Terjadi karena adanya kelainan kromosorn (inversi, delesi, duplikasi) dan kelainan gen (kekuatan kelainan, lokus gen). 
  2. Gangguan Metabolisme Gizi. Kegagalan dalam metabolisme dan kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan gizi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik maupun mental pada individu, seperti: Gangguan metabolisme asam amino (phenylketonuria), gangguan metabolisme saccharide (gargolism), kelainan hypothyroidism (cretinism). 
  3. Infeksi dan Keracunan. Diantara penyebab terjadinya ketunagrahitaan adalah adanya infeksi dan keracunan yang mana terjadi selama janin masih berada dalam kandungan ibunya. Infeksi dan keracunan ini tidak lansung, tetapi lewat penyakit-penyakit yang dialami ibunya, diantaranya adalah penyakit rubella, syphilis bawaan, syndrome gravidity yang beracun. 
  4. Trauma dan Zat Radioaktif. Ketunagrahitaan dapat juga disebabkan karena terjadinya trauma pada beberapa bagian tubuh khususnya pada otak ketika bayi dilahirkan dan terkena zat radioaktif selama hamil. Trauma otak terjadi pada kepala dapat menimbulkan pendarahan intracranial yang mengakibatkan terjadinya kecacatan pada otak.
  5. Masalah pada Kelahiran. Kelainan dapat juga disebabkan oleh masalah-masalah yang terjadi pada waktu kelahiran (prenatal), misalnya kelahiran yang disertai hyposia dapat dipastikan bahwa bayi yang dilahirkan menderita kerusakan otak, menderita kejang dan nafas yang pendek. Kerusakan otak pada prenatal dapat disebabkan oleh trauma mekanis terutama pada kelahiran yang sulit. 
  6. Faktor Lingkungan (Sosial Budaya). Terdapat bermacam-macam pengalaman negatif atau kegagalan dalam melakukan interaksi yang terjadi selama periode perkembangan menjadi salah satu penyebab ketunagrahitaan. Anak tunagrahita banyak ditemukan pada daerah yang memiliki tingkat sosial ekonomi rendah, hal ini disebabkan ketidakmampuan lingkungan memberikan stimulus yang diperlukan selama masa perkembangannya.

Permasalahan dan Pembelajaran pada Anak Tunagrahita 

Keterbatasan dan sikap-sikap yang dimiliki anak tunagrahita, dapat menimbulkan masalah dalam menjalankan aktivitasnya. Masalah-masalah yang mereka hadapi relatif berbeda-beda, walau demikian ada pula kesamaan masalah yang dirasakan bersama oleh sekelompok dari mereka. Menurut Amin (1995), permasalahan yang dihadapi oleh anak tunagrahita antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Masalah kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan dini dalam kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi keterbatasan anak-anak dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak mengalami kesulitan apalagi yang dalam kategori berat, dan sangat berat; pemeliharaan kehidupan sehari-harinya sangat memerlukan bimbingan.
  2. Masalah kesulitan belajar. Masalah-masalah yang sering dirasakan dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar di antaranya: kesulitan menangkap pelajaran, kesulitan dalam belajar yang baik, mencari metode yang tepat, kemampuan berpikir abstrak yang terbatas, daya ingat yang lemah, dan sebagainya. 
  3. Masalah penyesuaian diri. Karena tingkat kecerdasan anak tunagrahita jelas-jelas berada di bawah rata-rata (normal) maka dalam kehidupan bersosialisasi mengalami hambatan. 
  4. Masalah penyaluran ke tempat kerja. Secara empirik dapat dilihat bahwa kehidupan anak tunagrahita cenderung banyak yang masih menggantungkan diri kepada orang lain terutama kepada keluarga (orang tua) dan masih sedikit sekali yang sudah dapat hidup mandiri, inipun masih terbatas pada anak tunagrahita ringan. 
  5. Masalah gangguan kepribadian dan emosi. Memahami akan kondisi karakteristik mentalnya, nampak jelas bahwa anak tunagrahita kurang memiliki kemampuan berfikir, keseimbangan pribadinya kurang konstan/labil, kadang-kadang stabil dan kadang-kadang kacau. 
  6. Masalah pemanfaatan waktu luang. Sebenarnya sebagian dari mereka cenderung suka berdiam diri dan menjauhkan diri dari keramaian sehingga hal ini dapat berakibat fatal bagi dirinya, karena dapat saja terjadi tindakan bunuh diri.

Bertolak dari masalah-masalah yang dialami anak tunagrahita diatas, maka sangat diperlukan sebuah pendidikan, bimbingan, arahan dari orang tua, keluarga maupun guru. Sebab nantinya mereka akan hidup bermasyarakat, apabila anak tunagrahita mampu menunjukkan dirinya berdaya guna dengan keterbatasan yang dimilikinya, maka anak tunagrahita akan diterima masyarakat dengan baik.

Menurut Efendi (2006), terdapat beberapa kemampuan yang dapat dioptimalkan pada anak tunagrahita, antara lain adalah sebagai berikut: 
  1. Membaca, menulis dan berhitung. Membaca, menulis dan berhitung dapat diberikan kepada anak tunagrahita kategori ringan dengan menyesuaikan kemampuan serta karakteristik anak. Pemberian pembelajaran membaca, menulis dan berhitung untuk anak tunagrahita kategori ringan lebih diarahkan pada hal yang fungsional sehingga anak dapat menggunakan kemampuan membaca, menulis dan berhitung dalam kehidupan sehari-hari. 
  2. Menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mempunyai sikap mandiri. Selain dalam hal akademik anak tunagrahita kategori ringan juga membutuhkan pembelajaran yang menunjang agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mempunyai sikap mandiri, sehingga anak tunagrahita tidak akan selalu bergantung kepada orang lain. Kemampuan tersebut dilatih melalui pembelajaran pengembangan diri. 
  3. Keterampilan-keterampilan sebagai bekal anak ketika dewasa. Keterampilan yang dapat dijadikan bekal anak tunagrahita kategori ringan dapat diajarkan melalui keterampilan vokasional, misalnya dengan mengajarkan pekerjaan rumah tangga yang sederhana seperti menyapu, mengepel, mencuci piring dan mencuci baju. Selain itu anak tunagrahita dapat diajarkan keterampilan yang mengarah pada kegiatan yang mengasilkan produk dan jasa misalnya keterampilan tangan, pertukangan dan perbengkelan.

Daftar Pustaka

  • Amin, Moh. 1995. Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Bandung: Depdikbud.
  • Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: Refika Aditama.
  • Somantri, Sujihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.
  • Wardani. 1996. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.
  • Nur'aeni. 1997. Intervensi Dini Bagi Anak Bermasalah. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Aqila, Smart. 2010. Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran dan Terapi Praktis. Yogyakarta: Katahati.
  • Apriyanto, Nunung. 2012. Seluk-Beluk Tunagrahita & Strategi Pembelajarannya. Yogjakarta: JAVALITERA.
PERHATIAN
Jika ingin mengcopy-paste referensi dari KajianPustaka.com, mohon untuk menambahkan sumber rujukan di daftar pustaka dengan format berikut:
Riadi, Muchlisin. (). Anak Tunagrahita (Pengertian, Karakteristik, Klasifikasi, Penyebab dan Permasalahan). Diakses pada , dari https://www.kajianpustaka.com/2020/07/anak-tunagrahita.html